Di era digital yang serba cepat ini, media sosial sudah seperti tempat nongkrong sehari-hari. Kita jadi punya kebiasaan buat curhat atau sekadar berbagi momen. Tapi, ada satu kebiasaan yang sering kebablasan: oversharing alias kebanyakan cerita hal pribadi di medsos. Ternyata, kebiasaan ini tidak hanya soal suka pamer atau curhat, tapi juga ada risiko keamanan dan efek psikologis yang mesti kita waspadai.
Mengapa Oversharing Bisa Terjadi?
Beberapa studi menunjukkan bahwa oversharing sering terjadi karena adanya kebutuhan psikologis atau dorongan sosial. Dalam banyak kasus, individu merasa perlu mendapatkan validasi dan penerimaan sosial. Ketika seseorang berbagi cerita pribadi dan mendapatkan respons positif dari teman atau pengikut, ada perasaan dihargai yang menenangkan, yang membuat mereka semakin terdorong untuk membagikan detail yang lebih personal
Selain itu, narsisme atau kecenderungan untuk menjadi pusat perhatian juga menjadi penyebab utama oversharing. Orang dengan kecenderungan narsistik mungkin menggunakan media sosial untuk menunjukkan pencapaian, penampilan, atau gaya hidup mereka sebagai bentuk "panggung" untuk mendapatkan pengakuan. Bagi beberapa orang, hal ini terasa memuaskan karena mereka bisa mengontrol persepsi orang lain terhadap diri mereka dengan menampilkan citra ideal di media sosial. Oversharing juga sering terjadi sebagai cara mengatur emosi. Kaum remaja sering menggunakan media sosial untuk mencurahkan perasaan yang tidak bisa mereka sampaikan dalam kehidupan nyata. Mengungkapkan pikiran di media sosial memberikan sensasi lega, terutama dalam menghadapi tekanan sehari-hari.
Mengapa Kita Perlu Peduli ?
Meskipun tampaknya tidak berbahaya, oversharing memiliki beberapa dampak negatif yang patut diwaspadai:
1. Risiko Keamanan Pribadi
Salah satu dampak terbesar dari oversharing adalah ancaman terhadap keamanan pribadi. Membagikan lokasi, rutinitas, atau rencana perjalanan di media sosial dapat mengundang potensi bahaya, seperti penguntitan atau bahkan pencurian. Ketika terlalu banyak detail yang dibagikan secara publik, ini dapat mengundang orang asing untuk melacak atau mengetahui keberadaan kita.
2. Kerusakan pada Reputasi dan Hubungan Profesional
Oversharing juga dapat memengaruhi reputasi pribadi dan profesional seseorang. Di era digital ini, banyak perusahaan yang memeriksa media sosial calon karyawan sebelum mempekerjakan mereka. Unggahan yang penuh emosi atau konten yang kurang pantas bisa memengaruhi pandangan atasan terhadap profesionalitas seseorang. Selain itu, berbagi cerita konflik pribadi atau komentar negatif terhadap tempat kerja dapat membahayakan posisi pekerjaan dan hubungan di lingkungan kerja.
3. Gangguan Kesehatan Mental
Oversharing dapat menyebabkan dampak psikologis negatif. Ketika seseorang terus-menerus membagikan cerita pribadi dengan harapan mendapat respons positif, ada kemungkinan munculnya perasaan cemas jika respons tersebut tidak sesuai harapan. Situasi ini dapat meningkatkan rasa tidak aman dan bahkan memicu depresi. Pengaruh negatif ini semakin diperburuk jika pengguna merasa menyesal atas unggahan yang telah mereka bagikan dan tidak dapat menarik kembali kata-kata yang terlanjur tersebar di dunia maya.
4. Pengaruh pada Hubungan Sosial
Berbagi masalah atau konflik pribadi secara terbuka di media sosial dapat merusak hubungan dengan orang lain. Contoh klasik adalah ketika seseorang membagikan percakapan atau masalah keluarga yang seharusnya bersifat pribadi. Orang yang terlibat dalam percakapan tersebut mungkin merasa tidak nyaman atau merasa privasinya telah dilanggar. Ketika masalah pribadi diungkap secara publik, ini dapat memperburuk hubungan dan menimbulkan konflik yang sebenarnya bisa dihindari.
Pikir Dua Kali Sebelum Berbagi Informasi
Perkembangan teknologi media sosial yang semakin canggih juga turut mendorong terjadinya oversharing. Fitur-fitur seperti lokasi berbagi real-time dan unggahan cerita 24 jam mendorong pengguna untuk membagikan informasi terbaru secara cepat. Ditambah lagi, algoritma media sosial dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, yang secara tidak langsung mendorong orang untuk lebih sering memposting, sering kali tanpa berpikir panjang. Ketersediaan informasi yang luas ini membuka peluang untuk melihat kehidupan orang lain, yang kemudian menciptakan dorongan bagi kita untuk melakukan hal yang sama.
Sebelum membagikan informasi atau cerita pribadi, pertimbangkan apakah konten tersebut benar-benar pantas untuk diketahui publik. Jika masih ragu, tanyakan pada diri sendiri apakah informasi tersebut bisa berdampak pada keamanan atau privasi.
Media sosial memiliki pengaturan privasi yang dapat membantu kita memilih siapa yang bisa melihat unggahan kita. Atur privasi agar hanya teman dekat atau keluarga yang bisa melihat konten sensitif, dan hindari berbagi secara publik.
Saat merasa marah, sedih, atau stres, sebaiknya hindari memposting di media sosial. Rasa emosi yang belum stabil dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan mengarah pada oversharing yang mungkin disesali di kemudian hari.
Sesekali, periksalah unggahan lama yang mungkin sudah tidak relevan atau dianggap berlebihan. Bersihkan konten yang bisa menimbulkan masalah di masa depan.
Oversharing adalah kebiasaan yang mungkin tidak disadari banyak orang, tetapi dampaknya bisa serius. Baik dari segi keamanan pribadi maupun kesehatan mental, membatasi apa yang kita bagikan di media sosial menjadi langkah penting. Dengan memahami risiko oversharing dan menerapkan cara-cara untuk menguranginya, kita bisa tetap berinteraksi di dunia digital dengan lebih aman dan bijak.
(yrd).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H