Suatu hari di sebuah kampus,
Umam: “Bro, nanti jangan lupa ya kita ada kumpul angkatan di tempat biasa.”
Imam: “Emang mau ngapain sih? Kayaknya hampir tiap hari kumpul angkatan. Males banget.”
Umam: “Lho kita kan ada tugas buat bikin acara donor darah se-universitas.”
Imam: “Iya tau, buat apa sih repot-repot bikin acara gituan. Toh yang kita juga gak dapat apa-apa, mending belajar di kostan.”
Mendengar pernyataan Imam tersebut, Umam menjadi marah.
Umam: “Dasar apatis (sambil membentak Imam). Kamu itu kuliah bareng-bareng di sini, dimintain tolong kerja bareng aja gak mau. Lihat tuh temen-temen kita juga mengorbankan waktu belajarnya untuk acara ini, untuk kepentingan bersama.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sejak resmi menjadi mahasiswa baru di kampus ini, saya sering mendengar kata-kata keramat yang hampir selalu diucapkan para senior. Apatis, tidak care, boikoter. Dan tentu saja kata-kata tersebut selalu disandingkan dengan opposite-nya. Aktivis, motor angkatan, penggerak, dan lain sebagainya. Awalnya saya kurang begitu paham kenapa harus ada istilah-istilah tersebut, khususnya di kampus tercinta ini. Namun, seiring rasa penasaran saya, mulailah bermunculan kata sandi yang seakan mampu menjawab keingintahuan saya selama ini.
Ternyata, apatis menurut versi mereka adalah mahasiswa yang tidak mau mengikuti sistem kaderisasi yang ada, tidak peduli dengan apa yang dilakukan teman-temannya untuk kepentingan bersama, tidak suka organisasi, tidak suka diatur. Dan akibatnya, para mahasiswa apatis tersebut akan dicap buruk, tidak diijinkan mengikuti kegiatan dari organisasi mahasiswa, didiskriminasi dari pergaulan. Intinya, seorang apatis itu akan terancam keberadaannya di kampus dan dianggap tidak bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat layaknya para aktivis. Seolah-olah mahasiswa ideal itu seperti para aktivis, yang menawarkan beragam kemudahan dan kelebihan sebagai bekal memasuki dunia kerja.
Karena anggapan itu, banyak mahasiswa baru termasuk saya yang berlomba-lomba mengikuti screening disana sini agar bisa bergabung menjadi anggota di organisasi yang diinginkan. Ketika itu, saya berharap bisa mendapat banyak hal seperti networking dan softskill, seperti yang digembar-gemborkan senior. Namun, ketika saya sudah mulai masuk di organisasi, saya tidak sepenuhnya merasakan dan melihat apa yang selama ini dibicarakan tentang organisasi. Memang benar, dengan organisasi bisa menambah kapabilitas softskill kita, namun itu hanya berlaku bagi mereka yang aktif mengembangkan diri saja. Sedangkan bagi mereka yang hanya puas di bawah bayang-bayang nama besar organisasinya tentu tidak akan mendapat apa-apa.
Di sisi lain, coba kita lihat bagaimana aktivitas para mahasiswa yang dibilang “apatis” tadi. Jika saya amati, tidak semua dari mereka benar-benar acuh dengan teman dan lingkungan. Bahkan menurut cerita dari salah seorang teman sejurusan saya, anak “apatis” itu malah lebih baik dari yang kita kira jika mau mendekati secara personal. Mungkin kebanyakan dari kita tidak tahu bagaimana keseharian mereka karena setiap selesai kelas, mereka langsung menghilang. Entah itu di perpustakaan, pulang ke kost, atau ke masjid. Jarang sekali mereka nongkrong di kampus bersama teman yang lain. Karena mereka takut direspon dengan kurang baik.
Tidak ada yang pernah mau tahu bahwa sebenarnya mereka yang “apatis” itu juga sangat berpotensi untuk melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Misalnya, rata-rata dari mereka adalah mahasiswa cerdas yang suka belajar, bisa saja dengan hobi belajar mereka tersebut mereka bisa menciptakan rumus-rumus baru yang lebih mudah dipahami. Atau menemukan teori dan penelitian baru yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada saat ini.
Pada dasarnya, semua karakter manusia itu baik, tak terkecuali para “apatis”. Mungkin mereka memang tidak setuju dengan sistem pengkaderan yang ada di kampus ini. Namun bukan berarti mereka orang jahat yang harus dijauhi. Toh, semua orang berhak memiliki prinsip. Mereka juga pasti punya sisi baik yang bisa bermanfaat bagi sesama. Hanya saja dibutuhkan usaha agak keras untuk menggali sisi kebermanfaatan mereka tersebut. Tulisan ini bukan bermaksud untuk pro terhadap sikap apatis, tetapi saya hanya ingin menunjukkan bahwa para mahasiswa yang disebut “apatis” tersebut juga memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama untuk menciptakan karya. Memiliki peluang yang sama untuk bisa bekerja di perusahaan ternama. Karena kesuksesan bukan hanya milik para aktivis.
Surabaya, 22 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H