Di sisi lain, coba kita lihat bagaimana aktivitas para mahasiswa yang dibilang “apatis” tadi. Jika saya amati, tidak semua dari mereka benar-benar acuh dengan teman dan lingkungan. Bahkan menurut cerita dari salah seorang teman sejurusan saya, anak “apatis” itu malah lebih baik dari yang kita kira jika mau mendekati secara personal. Mungkin kebanyakan dari kita tidak tahu bagaimana keseharian mereka karena setiap selesai kelas, mereka langsung menghilang. Entah itu di perpustakaan, pulang ke kost, atau ke masjid. Jarang sekali mereka nongkrong di kampus bersama teman yang lain. Karena mereka takut direspon dengan kurang baik.
Tidak ada yang pernah mau tahu bahwa sebenarnya mereka yang “apatis” itu juga sangat berpotensi untuk melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Misalnya, rata-rata dari mereka adalah mahasiswa cerdas yang suka belajar, bisa saja dengan hobi belajar mereka tersebut mereka bisa menciptakan rumus-rumus baru yang lebih mudah dipahami. Atau menemukan teori dan penelitian baru yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada saat ini.
Pada dasarnya, semua karakter manusia itu baik, tak terkecuali para “apatis”. Mungkin mereka memang tidak setuju dengan sistem pengkaderan yang ada di kampus ini. Namun bukan berarti mereka orang jahat yang harus dijauhi. Toh, semua orang berhak memiliki prinsip. Mereka juga pasti punya sisi baik yang bisa bermanfaat bagi sesama. Hanya saja dibutuhkan usaha agak keras untuk menggali sisi kebermanfaatan mereka tersebut. Tulisan ini bukan bermaksud untuk pro terhadap sikap apatis, tetapi saya hanya ingin menunjukkan bahwa para mahasiswa yang disebut “apatis” tersebut juga memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama untuk menciptakan karya. Memiliki peluang yang sama untuk bisa bekerja di perusahaan ternama. Karena kesuksesan bukan hanya milik para aktivis.
Surabaya, 22 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H