Bab 10 – Aku Bukan Anna...
Kinan berdiri di tengah ruang putih kosong. Udara terasa dingin, dan dia merasa kecil di tengah kekosongan itu. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Ketika ia menoleh, ia melihat Kirana—tersenyum lembut seperti yang selalu ia ingat. "Kak..." suara Kinan bergetar.
Kirana mendekat, menyentuh wajah Kinan dengan tangan yang hangat. "Kinan... adikku sayang."
Kinan jatuh terduduk, air mata mengalir deras. "Aku minta maaf, Kak. Aku minta maaf karena aku hidup dan kamu tidak. Aku minta maaf karena aku tidak bisa menyelamatkanmu."
Kirana berlutut di hadapan Kinan, memeluknya erat. "Kinan, dengarkan aku. Bukan salahmu. Aku memilih untuk melindungimu karena aku mencintaimu."
"Tapi aku menghancurkan semuanya," isak Kinan. "Aku bahkan melupakanmu. Aku melupakan Kakak."
"Itu bukan melupakan, Kinan," ujar Kirana lembut. "Itu caramu bertahan. Aku tidak pernah marah padamu. Aku hanya ingin kamu bahagia."
Kinan menatap Kirana dengan mata penuh air mata. "Tapi aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup ini. Sejak aku merasa seperti 'Anna,' aku bahkan tidak tahu siapa diriku sebenarnya."
Kirana tersenyum, matanya penuh kasih. "Anna hanyalah dirimu, Kinan. Dia adalah bagian dari rasa bersalahmu, bagian dari dirimu yang ingin berjuang menjadi lebih kuat. Tapi kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk melanjutkan hidupmu." Kirana berdiri, perlahan menjauh. "Sudah waktunya kamu melepaskanku, Kinan. Kamu harus hidup untuk dirimu sendiri... dan untuk bayi itu."
Kinan menatap perutnya, merasakan kehangatan yang aneh mengalir ke seluruh tubuhnya. Ketika ia kembali melihat Kirana, sosoknya mulai memudar. "Kakak!" seru Kinan, mencoba meraih tangannya.
Namun, suara terakhir Kirana terdengar lembut, seperti bisikan angin. "Aku selalu mencintaimu, Kinan. Jangan lupa untuk mencintai dirimu sendiri."
---
Ruangan dokter Yudi sangat nyaman, lebih mirip ruang keluarga daripada ruang praktik. Sofa putih empuk mengisi sudut ruangan, sementara meja kecil di tengahnya dihiasi camilan dan secangkir kopi hangat yang aromanya memenuhi udara. Di belakangnya, rak buku berisi berbagai literatur medis dan beberapa novel terlihat rapi. Dirga duduk di salah satu sofa dengan ekspresi campuran antara bingung dan cemas, sementara dokter Yudi memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tenang.
"Alter ego?" Dirga akhirnya membuka suara, suaranya terdengar serak, mencerminkan kelelahan fisik dan emosional.
Dokter Yudi mengangguk perlahan. "Iya, alter ego. Kamu pernah menyalahkannya atas kematian Kirana, kakak yang sangat menyayanginya. Bisa jadi, sosok Kirana muncul sebagai alter ego Kinanti."
Dirga terdiam, memproses kata-kata itu.
"Dia memanggilmu 'Dirga' tanpa 'Kak', tatapannya setajam Kirana, bahkan cara bicaranya pun seperti lebih lugas dan tomboy, bukan? Pernahkah kamu menyadari itu?"
Dirga menundukkan kepalanya. Bayangan masa lalu kembali menguasainya---perdebatan sengit, rasa bersalah yang terus menghantuinya, dan kehadiran Kinan yang perlahan berubah sejak Kirana tiada.
Dokter Yudi menarik napas panjang sebelum menjawab. "Artinya, Kinanti mencoba bertahan dengan caranya sendiri. Alam bawah sadarnya menciptakan sosok 'Kirana' dalam dirinya untuk melindungi dirinya sendiri. Kinanti tahu, Kirana adalah sosok yang kuat dan selalu melindunginya. Dengan menjadi 'Kirana', dia percaya Kirana bisa melindunginya dari rasa sakit... dan darimu."
Kata-kata dokter Yudi menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang telak. Ia menatap lantai, mencoba mencerna kebenaran pahit yang selama ini ia abaikan. "Jadi... semua itu karena aku?" gumam Dirga lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan.
"Kemarahan dan ucapanmu yang menyakitinya membuat dia menciptakan perlindungan dalam dirinya. Sosok 'Kirana' adalah bentuk perlawanannya terhadap dirimu, Dirga. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi kamu menjadi bagian dari luka terbesar dalam hidupnya." Dokter Yudi menatap Dirga dengan sorot tajam, mencoba menyampaikan kebenaran yang tak bisa dielakkan.
---
Kinan terbangun di ranjang rumah sakit. Wajah Dirga adalah hal pertama yang dilihatnya, matanya penuh kekhawatiran.
"Kamu sadar," ucap Dirga, suaranya penuh kelegaan.
Kinan menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—bukan karena ia menjadi "Anna," tetapi karena ia akhirnya memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
"Aku baik-baik saja," ujar Kinan pelan.
Dirga mengangguk, tetapi masih ada kebingungan di matanya. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan."
Kinan menunggu, membiarkannya melanjutkan.
"Aku menyesal atas apa yang pernah aku katakan padamu tentang Kirana," ujar Dirga, suaranya pecah. "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, tapi aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk memperbaikinya."
Kinan menggenggam tangan Dirga, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang itu lagi. Aku ingin memulai hidup baru, untukku, untuk kita, dan untuk bayi ini."
Air mata Dirga mengalir, tetapi kali ini bukan karena rasa bersalah, melainkan karena kelegaan. Dia mengangguk, seolah berjanji untuk tidak pernah mengecewakan Kinan lagi.
Kinan menatap ke luar jendela, matahari pagi menyinari wajahnya. Untuk pertama kalinya, dia merasa bebas—bebas dari rasa bersalah, bebas dari trauma, dan bebas untuk menjalani hidup yang utuh.
Aku bukan Anna. Aku Kinanti Kusumah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI