---
Ruangan dokter Yudi sangat nyaman, lebih mirip ruang keluarga daripada ruang praktik. Sofa putih empuk mengisi sudut ruangan, sementara meja kecil di tengahnya dihiasi camilan dan secangkir kopi hangat yang aromanya memenuhi udara. Di belakangnya, rak buku berisi berbagai literatur medis dan beberapa novel terlihat rapi. Dirga duduk di salah satu sofa dengan ekspresi campuran antara bingung dan cemas, sementara dokter Yudi memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tenang.
"Alter ego?" Dirga akhirnya membuka suara, suaranya terdengar serak, mencerminkan kelelahan fisik dan emosional.
Dokter Yudi mengangguk perlahan. "Iya, alter ego. Kamu pernah menyalahkannya atas kematian Kirana, kakak yang sangat menyayanginya. Bisa jadi, sosok Kirana muncul sebagai alter ego Kinanti."
Dirga terdiam, memproses kata-kata itu.
"Dia memanggilmu 'Dirga' tanpa 'Kak', tatapannya setajam Kirana, bahkan cara bicaranya pun seperti lebih lugas dan tomboy, bukan? Pernahkah kamu menyadari itu?"
Dirga menundukkan kepalanya. Bayangan masa lalu kembali menguasainya---perdebatan sengit, rasa bersalah yang terus menghantuinya, dan kehadiran Kinan yang perlahan berubah sejak Kirana tiada.
Dokter Yudi menarik napas panjang sebelum menjawab. "Artinya, Kinanti mencoba bertahan dengan caranya sendiri. Alam bawah sadarnya menciptakan sosok 'Kirana' dalam dirinya untuk melindungi dirinya sendiri. Kinanti tahu, Kirana adalah sosok yang kuat dan selalu melindunginya. Dengan menjadi 'Kirana', dia percaya Kirana bisa melindunginya dari rasa sakit... dan darimu."
Kata-kata dokter Yudi menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang telak. Ia menatap lantai, mencoba mencerna kebenaran pahit yang selama ini ia abaikan. "Jadi... semua itu karena aku?" gumam Dirga lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan.
"Kemarahan dan ucapanmu yang menyakitinya membuat dia menciptakan perlindungan dalam dirinya. Sosok 'Kirana' adalah bentuk perlawanannya terhadap dirimu, Dirga. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi kamu menjadi bagian dari luka terbesar dalam hidupnya." Dokter Yudi menatap Dirga dengan sorot tajam, mencoba menyampaikan kebenaran yang tak bisa dielakkan.
---