Mohon tunggu...
Pipit ZL ceritaoryza.com
Pipit ZL ceritaoryza.com Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Anna dan Kinan (5/10)

13 Januari 2025   17:53 Diperbarui: 14 Januari 2025   04:45 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 5 -- Jeritan Hati Kinan

Kembali ke Taksi. Mbok Yem membimbing Anna kembali masuk ke taksi. Namun, rasa penasaran Anna belum selesai. Ia meminta sopir taksi membawanya ke kosannya. Pikirannya penuh harap, yakin ibu kos pasti mengenalnya.

Di dalam taksi, Anna terdiam memandang jalanan yang berlalu. Tubuhnya terasa berat, bukan tubuh Kinan yang lemah, tetapi tubuhnya sendiri yang merasakan kelelahan emosional karena tak menemukan jejak hidupnya.

Ponsel di tangan Anna bergetar. "Kak Dirga" tertera di layar. Anna menatapnya sejenak, lalu mengabaikannya. Tak lama kemudian, ponsel Mbok Yem berbunyi. Suara dering itu terdengar nyaring di dalam taksi.

"Non, ini Den Dirga menelepon," ujar Mbok Yem, matanya penuh tanya.

Anna menghela napas. "Angkat saja, Mbok. Tapi bilang, saya tadi mau ketemu teman, tapi nggak tahu ke mana orangnya."

Mbok Yem menurut, mengangkat panggilan itu. "Iya, Den Dirga. Non Kinan tadi bilang mau ketemu teman, tapi kayaknya nggak ketemu orangnya. Sekarang kami sudah dalam perjalanan pulang."

Anna melemparkan pandangan keluar jendela, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Sesampainya di rumah, tampak Dirga sudah berdiri di depan pintu, wajahnya tampak tidak bersahabat. Tangannya bersedekap, dan matanya menatap tajam ke arah Anna yang baru turun dari taksi.

"Kinan," ucap Dirga dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Aku kan sudah bilang, tunggu sampai aku selesai kerja. Kamu malah keluyuran. Kamu nggak tahu kondisi tubuhmu sendiri?"

Anna menatap Dirga dengan malas. Tubuhnya yang lelah membuatnya tidak ingin menjawab omelan itu. Dirga mendekat, lalu tanpa berkata-kata, langsung memapahnya masuk ke kamar.

"Dirga, aku bisa jalan sendiri," ujar Anna, nada ketus keluar tanpa disengaja.

"Tetap saja aku nggak percaya kamu bisa menjaga dirimu sendiri," balas Dirga dingin.

Setelah sampai di kamar, Dirga mendudukkan Anna di ranjang. Dia terlihat kesal, tetapi gerak-geriknya menunjukkan perhatian yang tidak bisa disembunyikan. Dengan sigap, dia mengambil selimut dan menyelimutinya, lalu berjalan ke meja untuk mengambil kotak makan siang yang sudah dia siapkan. "Kamu belum makan siang, kan? Aku bawain ini," katanya sambil membuka kotak tersebut.

Anna hanya memandanginya dengan tatapan penuh tanda tanya. Dirga menyiapkan sendok dan mulai menyuapinya tanpa meminta izin. "Dirga, aku bisa makan sendiri," ujar Anna, mencoba menahan sendok yang mendekat ke mulutnya.

"Makan saja!" balas Dirga tegas. "Kamu butuh tenaga. Kalau kamu sakit lagi, aku yang repot."

Anna mendengus pelan, namun tidak melawan. Perutnya memang lapar, dan makanan itu terlihat menggoda. Dia membiarkan Dirga menyuapinya, meskipun perasaan jengkel memenuhi hatinya. "Kenapa kamu repot-repot begini, Dirga?" tanya Anna akhirnya. "Kamu nggak suka sama aku, kan? Kenapa masih peduli?"

Dirga menghentikan suapannya. Dia menatap Anna dengan mata yang sulit ditebak. "Aku nggak peduli sama kamu. Aku cuma menjalankan tanggung jawabku. Itu saja."

"Tanggung jawab, ya? Menarik sekali. Kamu bahkan nggak mau menikah denganku, tapi kamu tetap di sini, merawatku. Aneh, nggak sih?"

Dirga terdiam sejenak, lalu melanjutkan menyuapi Anna tanpa menjawab.

Di dalam hatinya, Anna semakin yakin bahwa ada lebih banyak hal yang tersimpan di balik sikap dingin dan arogan Dirga. Tapi dia tidak ingin terlalu memikirkannya sekarang. Yang jelas, tubuh Kinan ini mendapatkan perhatian yang tak pernah Anna rasakan sebelumnya.

Setelah menyuapinya, Dirga pergi begitu saja, meninggalkan Anna sedirian, lagi.

Matanya tertuju pada tas milik Kinan, ada hape di dalamnya. Tangannya gemetar memegang hape Kinan. Ia ragu membuka aplikasi memo, namun rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Saat membaca catatan Kinan, hatinya terasa tertusuk.

Memo Kinan:

"Aku tahu ini keputusan besar. Aku harus menikah dengan Dirga. Papa sangat mengharapkannya, dan aku tidak bisa mengecewakannya. Tapi aku takut, sangat takut. Dirga tidak pernah benar-benar melihatku. Aku hanya sebuah kewajiban baginya. Mungkin aku memang tidak cukup berharga untuknya."

Anna membaca ulang kalimat itu, mencoba memahami beratnya tekanan yang dirasakan Kinan. Air matanya perlahan mengalir. Anna berbisik pada dirinya sendiri, Kenapa harus aku yang ada di posisi ini? Hidupku hilang, dan sekarang aku harus hidup dalam tubuh yang penuh dengan penderitaan.

Kilasan ingatan Kinan muncul di kepalanya---saat Kinan dipaksa menerima lamaran Dirga demi kebahagiaan Papanya. Anna memijat pelipisnya, mencoba mengusir rasa pening yang datang tiba-tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun