Uvoria kemerdekaan masa kini menjadi hal yang materialistis. Umbul-umbul dijejer di pinggir jalan, seperti prajurit yang sendiko dawuh menyambut kemenangan bangsanya dari masa perang. Semua berlomba menghias, membersihkan, menata, dan membuat ada yang belum ada.
Kampung Ngembang, terletak dipinggiran kota yang semua sosial budaya masyarakatnya menjadi tanggung. Kampung ini awalnya tidak ada. Mulanya pada masa pemberontakkan empat puluh tahun yang lalu ada pelarian masyarakat yang akhirnya tidak memiliki tempat tinggal, dan mereka menemukan tempat ini. Tanah yang patut difungsikan sebagai perkampungan awalnya hanya dihuni tiga keluarga.Â
Keluarga Pak Randi, Pak Noto, dan Pak Abdi. Mereka tidak mengetahui sampai salah satu dari mereka bertemu akhir hayatnya tanah itu milik siapa. Yang pasti sekian puluh tahun dari pertama mereka tinggal sudah sangat berbeda. Sudah ada 5 rukun tetangga yang di dalamnya sekitar ada empat ratus enam puluh lima jiawa. Bahkan bisa dibilang kampung tersebut juga menjadi kampungnya para pengusaha, hartawan, tapi bukan sejarawan.
Menyambut kemerdekaan bangsanya yang ke enam puluh tahun kali ini, benar-benar meriah. Semua berlomba menghias. Mulai dari rumah mereka masing-masing, memasang umbul-umbul  sepanjang pinggir jalan, tiang-tiang lampu yang dicat warna-warni, lahan hijau setiap gang yang dihias dengan berbagai bunga, tak luput demi kemeriahan malam maka setiap jalan gang diberi lampu tumblr. Semua berlomba-loma menghias tapi ada yang mereka luputkan.
Jalan gang menuju rumah Pak Randi tidak ada yang membetulkan. Berlubang sana -sini dan airnya menggenang jika setelah hujan tiba. Penerangannya pun samar, hanya mendapat biasan cahaya dari rumah gedong depan gang rumah Pak Randi. Aparat kelurahan, RT, RW, ataupun warga sekitar belum ada yang tergerak hatinya untuk memperbaikinya.Â
Ya, semua itu salah satunya adalah karena Pak Randi tidak memiliki identitas kependudukan yang menjadi syarat sah apabila akan mendapatka batuan apapun dari pemerintah, termasuk apabila tanah yang ditempati Pak Randi akan diikutkan program "renovasi rumah" atau semacamnya. Dia sempat mempunyai kartu identitas, namun semenjak tragedi pemberontakkan itu dia benar-benar kehilangan semua dokumentasi penting dan segala harta bendanya.
***
Satu minggu sebelum perayaan kemerdekaan, tepatnya hari Minggu. Semua orang berkumpul di ruang ruang hijau, atau mereka biasa disebut Taman Kampung. Tempat pusat kegiatan warga tersebut dipenuhi oleh orang dengan profesi pegawai, pengusaha, ibu rumah tangga, anak-anak, remaja, orang dalam masa pencarian kerja, dan orang yang benar-benar pengangguran karena harta turunan dari keluarganya sudah cukup membuatnya lumpuh untuk bekerja keras. Tapi tidak dengan Pak Randi.
Pak Jali sebagai ketua RT mengarahkan semua warganya untuk membersihkan dan menghias seluruh bagian kampung, terutama yang berada di dekat jalan utama. Pak Jali yang memang pegawai di kota di bagian tata letak ruang memang tidak asing untuk mengarahkan serta mengonsep kegiatan semacam ini. Benar saja, semua warga benar-benar sigap dalam melaksanakan tugas dari Pak RT.
Hari Minggu pagi, semangat dan kebugaran masyarakat benar-benar terkuras untuk membuat yang terbaik kampung mereka. Sampai matahari benar-benar di atas mereka, terik sekali. Mereka berhenti dan membubarkan diri begitu saja, Pak RT luput dari koordinasi karena ada satu pekerjaan yang belum mereka selesaikan. Tapi tak masalah, karena kampung mereka benar-benar telah meriah sampai hari penialaian tiba. Lantas, setelah semuanya meriah, dilombakan, dihadiahi, lalu dibiarkan saja.
Om Li, ya panggil saja dia om karena meskipun sudah bernak dua tapi wajahnya memang terlihat masih muda. Om Li dan anaknya Gofan berjalan menuju rumahnya. Sebelum memasuki gerbang rumah megahnya. Om Li menyempatkan mengecek saluran air dekat jalan menuju rumah Pak Randi. Gofan mengikuti. Ia menatap rumah Pak Randi dengan serius. Mungkin asing atau memang dia kritis dengan keadaan lingkungannya.
"Yah, itu rumah Pak Randi kenapa tidak diberi penerangan juga, itu juga kenapa nggak dikasih bendera umbul-umbul depan rumahnya?," Tanya Gofan yang lumayan kritis seusianya baru kelas lima sekolah dasar.
"Mungkin  Pak Randi tidak punya. Tadi juga nggak ikut bantu-bantu sih. Udah yuk masuk aja, airnya udah lancar ini kayaknya," memang tidak tahu Om Li begitu saja masuk gerbang rumahnya bersama Gofar.
"Tapi Yah,..." Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Ya ya ya. Pak Randi memang jarang berinteraksi dengan orang sekampungnya meskipun dia adalah nenek moyang di kampung itu. Lima tahun setelah Pak Randi menempati kampung itu, benar-benr berkembang pesat. Orang-orang dari luar daerah yang mau merantau di dekat kota dengan enaknya saja meninggali tanah tanpa tuan itu. Mereka rata-rata datang dengan keluarga kecilnya. Tambah, tambah, dan tambah setiap tahunnya. Mereka ada yang memang datang belum dengan pekerjaan, atau orang yang datang dan memulai usaha di sana.Â
Mirisnya bagi Pak Randi, usaha mereka jaya dan tidak mau tau dengan sejarahnya. Ya, seiring pesatnya perkembangan mereka lama-lama melupakan asal usul mereka di sana, siapa yang awalnya memelihara tanah di sana, pastinya mereka tidak tahu siapa sesepuh di sana. Malah, mereka mempercayai desas-desus miring berbau amis dari Pak Randi. Katanya mereka berpendidikan nyatanya mentah saja mereka telan.
Dikabarkannya,
Sebelum masa pemberontakan Pak Randi bekerja sebagai kerani di kantor jasa pengiriman barang tempat tinggalnya dulu. Ia pegawai yang taat, disiplin, dan bertanggungjawab. Tidak keberatan juga kadang ia suka membantu mendistribusikan surat-surat yang memang alamatnya sejalan dengan rumahnya. Namun, sepekan ini ia memberikan surat ke tempat yang sama berturut-turut. Dia tidak mengeluh tidak pula merasa aneh yang penting baginya adalah tugas selesai.
Satu bulan setelah sepekan terus-menerus memberikan surat ke alamat yang sama itu, keadaan daerahnya semakin sepi, penuh prasangka, dan mencekam bila malam tiba. Ya saat itu kelompok pemberontak atau warga sekitar biasa menyebutnya Pemberontak Pasca Kemerdekaan. Tujuan mereka adalah mengambil alih legalitas kekuasaan karena kelompok mereka merasa paling benar dalam merumuskan benang-benang yang diikal dalam tenun Ibu Pratiwi. Mereka yang terkenal arogan sedikit demi sedikit sudah menguasai celah-celah lembaga kepemerintahan. Salah satunya adalah kantor-kantor usaha milik pemerintah.
Dua hari ini dia agak lega kepala kantornya tidak memberikan tugas yang aneh-aneh. Seperti mengantar surat untuk rumah kosong, mengambil setumpuk kertas yang dititipkan di warung gang kantor, atau mengetik daftar nama yang banyak, sesekali dalam ketikkan nama itu ada orang-orang yang Pak Randi Kenal.
Rabu, tanggal bagian minggu akhir dan di tahun yang mencekam. Seperti biasa, Pak Randi datang paling awal. Ia bebersih halaman kantor, ya memang dia yang lihai dalam bebersih dan menggunakan alat sabit, cangkul, dan engkrak. Maklum, hampir semua pegawai adalah kerabat atau anak dari bangsawan jadi tidak terbiasa melakukan aktivitas fisik itu.
Tepat pukul 07.55 Pak Randi dipanggil oleh atasan secara mengagetkan.
"Pak Randi, setelah bersih-bersih ikut saya sebentar ya. Sekaian dibawa alat bersih-bersihnya." Kata kepala kantor yang datang dari arah belakang Pak Randi. Sontak, dia kaget dan berbalik sambil bermuka tegang.
"Oh nggih Pak." Pak Randi tanpa curiga apapun, sebab biasanya kepala kantor sering menggunakan kekuasaaanya itu untuk menyuruh bawahannya untuk membersihkan lahan kosong di belakang kantor.
"Nanti ajak si Nur, biar cepat selelsai pekerjaanmu." Si Nur ini adalah petugas kebersihan asli di kantor tersebut.
Tak lama dari itu pukul 08.05 orang bertubuh tegap, berpakaian perlente memasuki ruangan kepala kantor. Pak Randi melihatnya dari luar, sepertinya ia mengenal orang tersebut. Ya, dia adalah ornag penerima surat yang sepekan berturut-turut ia beri surat titipan dari kepala kontor. Tak lama orang tersebut memasuki ruangan, ia keluar dengan tergesa. Diikuti juga kepala kantor yang langsung menuju parkiran mobil tuanya. Berjalan menuju halaman.
"Pak Randi, ayo naik," katanya dari dalam mobil sambil memaksa.
"Loh Pak ini mau kemana to, kok pakai mobil segala?," Jawabnya bingung.
"Wes ra usah kakean takon. Ayo, Nur dipanggil nanti keburu siang."
"Nggih Pak, nggih," Nur yang sedang sarapan di ruang belakang ditarik saja dengan Pak Randi.
Mereka berdua duduk di bak belakang mobil, sedangkan kepala kantor menyetir tanpa kawan.
"Nur, nggak biasannya ya jalan sepi gini, tadi pas aku berangkat kerja juga jarang ada yang pergi ke pasar. Padahal aku kangen lo sama buburnya Mbok Yem."
"La nggih  Pak. La Mbok Yem kan sudah beberapa hari ini tidak jualan Pak. Katanya suaminya lagi pergi jadi nggak ada yang bantu-bantu."
"Wah, Mbok Yem akeh le ngangeni ini Nur." Jailnya.
"Haa haa haa,"tawa mereka pecah begitu saja dengan angin.
"Buburnya maksudnya Pak haa haa."
"Nur, tapi kamu tahu tidak sih, kita mau dibawa ke mana. Pak Kepala tadi kok ya tidak ngendikan  dulu mau kemana. Tahuku malah suruh bersih-bersih di belakang. Tapi ya nggak apa-apa Nur, kerjaanku juga lagi santai."
"La pripun jenengan itu pak. Saya lagi makan diajak jenengan kok malah tanya saya."
09.30, perjalaann memang lumayan lama. Pak Randi dan Nur sampai kebingungan dan pasrah. Sepanjang jalan memang jalan sepi, segala aktivtas pasar tidak seperti biasanya. Hanya ada gerombol-gerombol orang yang terlihat menjaga setiap persimpangan atau gang masuk kampung.
Mobil berhenti pada lahan kosong, tepatnya semak-semak di atas bukit Srowot.
"Turun Pak, ikuti saya ya."
Tanpa ada jawaban namun penuh tanda tanya. Pak Randi mulai menerka situasi yang sedang dia amati. Pikirnya ia akan terlibat dalam suatu keputusan. Dan, benar saja. Pak Randi, Nur dan dua orang tukang bersih-bersih dari instansi lain dikirim di sana untuk membuat kubangan. Entah untuk apa, mereka hanya memerintahkan kalau kubangan itu harus panjang dan dalam. Semacam untuk tempat pembuangan sampah.
11.30 Pak Randi belum istirahat, ia mulai kelelahan dan belum menunaikan salat duhur. Dipaksa hari ini juga ia menyelesaikannya.
17.30 Pak Randi meninggalkan salat wajibnya. Malah, sayup-sayup dalam cahaya yang meredup ia melihat segerombolan orang digiring menuju tempat penggaliannya. Meskipun matanya sudah minus, ia masih mengenali salah satunya.
"Pak Edi, Yu Sum, bojone Mbok Yem, Kang Wardi. Yang baris kok kaya nama-nama yang aku ketik tempo hari to Nur. Loh loh podo ngopo kae?" Bisiknya yang terdengar oleh Pak Noto, pekerja dari instansi lain.
"Ssssssttttt, tidak usah ducapkan lagi Pak, menunduk saja. Selesaikan kerjaan kita. Nanti kita ndak malah kena maslaah."
Mereka tetap melakukan penggalian, hanya saja sedikit jauh dari rombongan yang dikumpulan berjongkok itu. Mereka diikat saling berkaitan, mata ditutup dan menghadap ke kubangan. Banyak orang bertubuh kekar berdiri di belakang mereka dengan menggendong senapan. Suaranya sesekali membentak, bahkan lebih sering mengintimidasi. Mereka diinterogasi secara terbuka, dan penuh tekanan. Dan tepat ba'da magrib suara tembakan dan suara gesekan senjata tajam yang mengenai sebuah kulit mencuat.
Pak Randi dan teman-temannya semakin kaku. Secara tiba-tiba datanglah kepala kantornya.
"Pak, tolong kubangan di pojok sana ditutup ya."
"Maaf Pak, ...." Belum sampai Nur melanjutkan tanya, kepala kantornya memangkas.
"Iya itu tadi orang-orang yang sudah menjadi penghianat."
Pak Randi berlari menuruni bukit. Tadinya disangka dia akan buang air. Tak ada yang mengikuti dan hingga benar-benar lari. Tidak ikut mengubur orang-orang berdarah amis tadi. Membuat bingung orang di sana. Beberapa orang mencarinya namun tidak menemui.
04.10, subuh, Â Pak Randi dengan nafas terpenggal-peggal, kelelahan, dan lapar, ternyata sudah sampai rumah. Ia kabur, lari, jalan terseol-seol demi sampai rumah. Entah dengan alasan apa. Malangnya istri dan anak Pak Randi sudah tidak di rumah.
Setelah Pak Randi dikejar tidak ketemu, rupanya kepala kantornya membuat rumor yang sedemikian cepat sampai kampung milik Pak Randi bahwa dia dikabarnya ikut menjadi kelompok pemberontak. Istri dan anaknya langsung berkemas pergi. Dan Pak Randi tak sempat masuk rumah setelah mengetahui lampu padam rumahnya tanda tak ada orang. Lalu pergi dan kabur tanpa identitas yang lekat padanya.
***
Om Li dan Gofan, berjalan menuju rumah Pak Randi. Membawa makanan, dan beberapa sembako. Rumahnya terlihat singup. Jendela selalu tertutup, pintu diketuk tak lantas dibuka, halaman rumah yang kumuh, tapi tiang bendera dan benderanya tak pernah turun sedikit pun.
"Pak Randi ini saya Li. Tolong dibukakan pak."
Pintu tak juga ditemui tapi jendela kayunya yang dibuka.
"Ada apa Pak? Kalau ada perlu lewat sini saja." Kepalanya terdongok sedikit keluar.
"Maaf Pak, kami hanya ingin memberikan sedikit makanan. Tadi istri saya masak untuk perayaan dan masih ada yang bisa kami berikan untuk Pak Randi."
"Ya, terima kasih. Taruh saja di luar. Tidak usah masuk rumah. Nanti ndak ikut bau amis."
Om Li dan Godan meletakkan pemberiannya di dipan depan rumah Pak Randi. Mereka lalu pulang dan benar-benar tidak pernah masuk rumah Pak randi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H