Pada jam istirahat makan siang, Karmin dan Rudi berjalan bersama ke luar kantor. Mereka melenggang ke arah sebuah warung makan nasi rames di ujung jalan, dekat dengan jembatan di Jalan Jendral Sudirman. Dua pemuda berusia 25 tahun tersebut, secara alami menjadi teman sejak bergabung dalam perusahaan yang sama. Setelah ratusan lamaran tanpa panggilan, dan ratusan wawancara lainnya yang tak berkelanjutan, Karmin dan Rudi akhirnya menjadi pegawai kantoran di sebuah perusahaan. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan.
Kaki kanan Karmin tidak berfungsi sebagaimana milik Rudi, sedangkan Rudi sendiri tidak bisa menggunakan tangan kirinya sebagaimana Karmin mengangkat tumpukan kardus di gudang dan mencatatnya dalam lembaran kertas perusahaan.Â
Sejak pertemuan di lorong perusahaan, mereka telah menjadi satu kesatuan. Datang wawancara di tempat yang sama, dipanggil ke ruangan yang sama, dan sampai sekarang bekerjasama dalam berbagai hal. Keduanya diterima sebagai pegawai gudang, mengangkat barang, memindahkan barang, kemudian mencatat, dan juga melaporkan kepada atasan.
Selain beberapa persamaan itu, mereka juga memiliki perbedaan. Keduanya datang dari dua pulau yang berbeda untuk merantau di sebuah kota yang pernah jadi Ibukota Indonesia, Yogyakarta. Memiliki latar belakang dan budaya berbeda. Karmin sudah menjadi yatim sejak dalam kandungan. Orangtuanya mengalami kecelakaan yang membuat sang ayah meninggal, dan ibunya harus melahirkan anak dengan kebutuhan khusus.Â
Setelah Karmin sudah cukup usia untuk mengurus dirinya sendiri, sang Ibu kawin lagi dan pergi bersama keluarga barunya. Meninggalkan Karmin yang akhirnya diusir dari rumah peninggalan sang ayah. Disinilah ia sekarang, berbagai beban pikiran dan perasaan bersama Rudi.
Orangtua Rudi keduanya masih ada di Sumatera, mengurus tiga orang adiknya yang lain. Semuanya perempuan dan dilahirkan dalam keadaan yang tak kurang suatu apapun. Lulus dari sekolah dasar, Rudi sudah diminta bekerja oleh orangtuanya, membantu memenuhi kebutuhan adiknya. Ia dilepas di pasar begitu saja, bekerja serabutan apa adanya, tak jarang juga berharap belas kasihan orang-orang.Â
Diam-diam setiap malam, Rudi membaca buku-buku milik adiknya, bersekolah dengan pikirannya sendiri. Beruntung, adiknya ringan membantu, menjawab pertanyaan yang tak Rudi mengerti, atau menyampaikannya kepada guru di sekolah. Diam-diam juga dia menabung, mengikuti kejar paket hingga mendapatkan ijazah sekolah menengah.
Mimpi Rudi tak muluk-muluk, ia hanya ingin lulus SMA lalu merantau ke Jawa. Baik di TV atau di koran, Rudi melihat banyak orang sukses di Jawa, ada banyak pekerjaan ditawarkan di sana.Â
Pembangunan ada dimana-mana, sehingga kuli bangunan pun juga laku dimana saja. Kali ini, ia tak diam-diam pergi ke Jawa. Dengan penuh khidmat meminta restu kepada ibunya untuk mencari peruntungan di pulau tetangga. Dan, begitulah awal mula perjalanan Rudi terlunta-lunta di jalanan, tidur di emperan masjid dan pertokoan, juga makan dari bekas sisa orang, hingga akhirnya bertemu Karmin, teman sebaya sepenanggungan.
"Mau makan siang apa Min kita hari ini?,"
"Alah gaya mu pakai tanya segala, kau kan tahu kita mampunya makan apa,"
Keduanya lantas tertawa bersama, berjalan perlahan di jalan trotoar, tangan Karmin merangkul Pundak Rudi, menopangkan sebagian berat tubuhnya yang seharusnya ditopang kaki kanan ke tubuh Rudi. Dari seberang jalan, keduanya tampak seperti sahabat karib yang tengah berbagi kesenangan di siang bolong, memamerkan kebahagiaan kepada dunia yang sedang tak baik-baik saja.
"Bu nasi telornya dua ya, sama es teh manisnya dua,"
"Eh min, aku sedang ingin makan ikan hari ini, pakai pindang saja aku,"
"Alah Rud, awas aja kau nanti akhir bulan pinjam duit aku lagi ya,"
"Alah aku bayar pastinya itu, jangan khawatir kau sama ku,"
"Yasudah bu, nasi telornya diganti nasi pindang saja dua,"
"Eh kok ikut-ikut pula kau min,"
"Biar samanya kita, kan kembar tak seiras kita,"
Dua teman baik itu kembali tertawa, menertawakan diri masing-masing, menyimpan pilu hanya bisa makan nasi pindang di antara pilihan lauk yang menawarkan brongkos daging sapi dan gulai ikan kakap.
Segelas es teh manis terasa melegakan saat siang hari di Yogyakarta. Suhu menunjukkan angka 34 derajat celcius, membuat keringat Karmin dan Rudi semakin bercucuran akibat sambal yang mereka makan. Selama 25 tahun hidupnya, Rudi sudah terbiasa makan, minum, dan menulis dengan tangan kirinya. Ia tak memiliki kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
Hanya dalam beberapa hal, Rudi membutuhkan tangan karmin untuk melakukan, seperti memasukkan benang ke dalam jarum untuk menjahit kemejanya yang sudah usang, beberapa kalinya kancingnya terlepas dan bagian ketiaknya robek. Tapi menjahit masih menjadi hal yang paling mudah ia lakukan ketimbang membeli kemeja baru. Setiap bulan, separuh uang Rudi akan dikirim untuk biaya kuliah adik pertamanya. Tidak jarang, ia juga ikut pusing dengan biaya sekolah dua adiknya yang lain. Orangtuanya tak lagi muda, tak lagi bisa bekerja jadi buruh serabutan. Keluarganya hanya bergantung pada hasil ternak bebek rumahan.
"Adikmu sudah mau lulus kuliah Rud?"
"Iya sebentar lagi dia lulus, tinggal menyelesaikan skripsi saja,"
"Berarti satu bebanmu berkurang dong,"
"Masih banyak beban lainnya min, adikku masih dua SMA. Sebentar lagi masuk kuliah, butuh duit banyak. Orangtua ku juga sudah gak lagi muda, musti aku juga yang menanggungnya,"
"Tapikan adikmu yang paling besar sudah mau lulus, sudah bisa cari kerja. Gajinya juga pasti lebih besar dari kamu Rud. Sarjananya dia,"
"Dia itu perempuan min, sebentar lagi juga pasti dipinang orang. Kalaupun dia bekerja, juga gajinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dua adik dan orangtua tetap jadi tanggunganku sampai mati,"
"Kamu sendiri bagaimana Rud, gak mau kawin kah?"
"Boro-boro kawin min, makan nasi pindang aja masih mikirin akhir bulan. Gimana mau bawa anak orang,"
"Denger ceritamu ini kok rasanya ribet kali ya Rud punya keluarga banyak gitu. Apa aku harus bersyukur karena sudah dibuang ibu ku dan diusir keluarga bapakku. Meskipun tak punya apa-apa dan siapa-siapa, gak punya tanggungan apa apa juga,"
"Ya kawinlah kau min, biar punya tanggungan, punya keluarga, punya kebahagiaan juga, jangan nyender sama aku terus,"
"Hahaha kau ajalah Rud sini aku kawini, biar berbagi tanggungan kita,"
Keduanya kembali tertawa renyah, cukup kencang hingga menarik perhatian tukang becak yang sedang kipas-kipas dengan pecinya. Mereka tertawa dengan keras cukup lama, sampai hampir separuh perjalanan menuju kantor terlewati. Mungkin, dari balik gerobak tukang bakso yang ada di sebrang jalan, kedua pria sebaya itu tampak tengah bersenang-senang dengan hidup mereka di siang bolong yang terik di Yogyakarta.Â
Tapi, siapa yang berjalan beriringan dengan mereka, yang mendengar percakapan keduanya dan mengerti jalan hidup yang telah mereka lalui, pasti akan merasakan, ada getir di balik tawa yang renyah itu. Seperti ada setetes air mata dan sepercik darah yang ikut berlompatan bersama ludah yang muncrat saat keduanya membuka mulut tertawa.
Dalam kepalanya, Karmin membayangkan sebuah keluarga yang kecil. Ia dan kedua orangtunya duduk di meja makan, menyantap sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana, sayur asem dan tahu tempe buatan istrinya. Seorang wanita sederhana, dengan senyum tulus menyambutnya pulang bekerja, menyediakan secangkir teh hangat, lalu keduanya tidur sambil berpelukan erat, menghabiskan sisa hidup bersama, mungkin juga dengan seorang anak, entah putri atau putra.Â
Sebelum diusir ketika dirinya baru berusia 15 tahun, sudah sejak lama Karmin memimpikan sebuah rumah dengan keluarga yang hangat. Meja makan yang dipenuhi celotehan anggota keluarga, dan tempat tidur yang nyaman dengan seseorang untuk didekap.
Malam hari selalu menjadi musuh terbesar untuk Karmin. Sejak 10 tahun yang lalu, ia telah menjajal berbagai profesi, kuli bangunan, marbot masjid, penjaga sekolah, tukang kebun, pengamen, hingga pedagang asongan di terminal.Â
Dari semua profesi itu, ia selalu tenggelam dalam hiruk pikuk siang, lalu kembali kesepian saat malam. Angin malam selalu datang mengejeknya yang tidur beralaskan tanah. Membuat giginya bergemelutuk saat hujan turun tanpa ampun. Badannya gemetar dan tulang-tulangnya seolah dicabut begitu saja. Karmin bahkan pernah terlunta-lunta di halaman rumah sakit, tubuhnya terpapar malaria, tapi bahkan selembar uang untuk membeli makan pun ia tak punya.
Sementara darah dalam diri Rudi bergejolak, sebening air tertahan di balik pelupuk matanya. Tak pernah sedikitpun ia memimpikan memiliki seorang istri, apalagi anak keturunan. Dalam bayangannya, ia hanya ingin pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih besar. Sehingga ia tidak perlu pusing setiap kali adiknya mengirim pesan sudah waktunya membayar uang kuliah. Atau saat kedua orangtuanya pingsan di kandang bebek karena kelelahan, ia bisa ringan tangan mengirim uang ke kampung halaman. Meminta dua adik perempuannya membawa ayah ibunya ke rumah sakit, mendapatkan perawatan yang layak.
"Kalau aku seorang perempuan Rud, aku akan cari suami seperti kamu, yang peduli pada keluarganya,"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H