Keduanya kembali tertawa renyah, cukup kencang hingga menarik perhatian tukang becak yang sedang kipas-kipas dengan pecinya. Mereka tertawa dengan keras cukup lama, sampai hampir separuh perjalanan menuju kantor terlewati. Mungkin, dari balik gerobak tukang bakso yang ada di sebrang jalan, kedua pria sebaya itu tampak tengah bersenang-senang dengan hidup mereka di siang bolong yang terik di Yogyakarta.Â
Tapi, siapa yang berjalan beriringan dengan mereka, yang mendengar percakapan keduanya dan mengerti jalan hidup yang telah mereka lalui, pasti akan merasakan, ada getir di balik tawa yang renyah itu. Seperti ada setetes air mata dan sepercik darah yang ikut berlompatan bersama ludah yang muncrat saat keduanya membuka mulut tertawa.
Dalam kepalanya, Karmin membayangkan sebuah keluarga yang kecil. Ia dan kedua orangtunya duduk di meja makan, menyantap sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana, sayur asem dan tahu tempe buatan istrinya. Seorang wanita sederhana, dengan senyum tulus menyambutnya pulang bekerja, menyediakan secangkir teh hangat, lalu keduanya tidur sambil berpelukan erat, menghabiskan sisa hidup bersama, mungkin juga dengan seorang anak, entah putri atau putra.Â
Sebelum diusir ketika dirinya baru berusia 15 tahun, sudah sejak lama Karmin memimpikan sebuah rumah dengan keluarga yang hangat. Meja makan yang dipenuhi celotehan anggota keluarga, dan tempat tidur yang nyaman dengan seseorang untuk didekap.
Malam hari selalu menjadi musuh terbesar untuk Karmin. Sejak 10 tahun yang lalu, ia telah menjajal berbagai profesi, kuli bangunan, marbot masjid, penjaga sekolah, tukang kebun, pengamen, hingga pedagang asongan di terminal.Â
Dari semua profesi itu, ia selalu tenggelam dalam hiruk pikuk siang, lalu kembali kesepian saat malam. Angin malam selalu datang mengejeknya yang tidur beralaskan tanah. Membuat giginya bergemelutuk saat hujan turun tanpa ampun. Badannya gemetar dan tulang-tulangnya seolah dicabut begitu saja. Karmin bahkan pernah terlunta-lunta di halaman rumah sakit, tubuhnya terpapar malaria, tapi bahkan selembar uang untuk membeli makan pun ia tak punya.
Sementara darah dalam diri Rudi bergejolak, sebening air tertahan di balik pelupuk matanya. Tak pernah sedikitpun ia memimpikan memiliki seorang istri, apalagi anak keturunan. Dalam bayangannya, ia hanya ingin pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih besar. Sehingga ia tidak perlu pusing setiap kali adiknya mengirim pesan sudah waktunya membayar uang kuliah. Atau saat kedua orangtuanya pingsan di kandang bebek karena kelelahan, ia bisa ringan tangan mengirim uang ke kampung halaman. Meminta dua adik perempuannya membawa ayah ibunya ke rumah sakit, mendapatkan perawatan yang layak.
"Kalau aku seorang perempuan Rud, aku akan cari suami seperti kamu, yang peduli pada keluarganya,"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H