Keduanya lantas tertawa bersama, berjalan perlahan di jalan trotoar, tangan Karmin merangkul Pundak Rudi, menopangkan sebagian berat tubuhnya yang seharusnya ditopang kaki kanan ke tubuh Rudi. Dari seberang jalan, keduanya tampak seperti sahabat karib yang tengah berbagi kesenangan di siang bolong, memamerkan kebahagiaan kepada dunia yang sedang tak baik-baik saja.
"Bu nasi telornya dua ya, sama es teh manisnya dua,"
"Eh min, aku sedang ingin makan ikan hari ini, pakai pindang saja aku,"
"Alah Rud, awas aja kau nanti akhir bulan pinjam duit aku lagi ya,"
"Alah aku bayar pastinya itu, jangan khawatir kau sama ku,"
"Yasudah bu, nasi telornya diganti nasi pindang saja dua,"
"Eh kok ikut-ikut pula kau min,"
"Biar samanya kita, kan kembar tak seiras kita,"
Dua teman baik itu kembali tertawa, menertawakan diri masing-masing, menyimpan pilu hanya bisa makan nasi pindang di antara pilihan lauk yang menawarkan brongkos daging sapi dan gulai ikan kakap.
Segelas es teh manis terasa melegakan saat siang hari di Yogyakarta. Suhu menunjukkan angka 34 derajat celcius, membuat keringat Karmin dan Rudi semakin bercucuran akibat sambal yang mereka makan. Selama 25 tahun hidupnya, Rudi sudah terbiasa makan, minum, dan menulis dengan tangan kirinya. Ia tak memiliki kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
Hanya dalam beberapa hal, Rudi membutuhkan tangan karmin untuk melakukan, seperti memasukkan benang ke dalam jarum untuk menjahit kemejanya yang sudah usang, beberapa kalinya kancingnya terlepas dan bagian ketiaknya robek. Tapi menjahit masih menjadi hal yang paling mudah ia lakukan ketimbang membeli kemeja baru. Setiap bulan, separuh uang Rudi akan dikirim untuk biaya kuliah adik pertamanya. Tidak jarang, ia juga ikut pusing dengan biaya sekolah dua adiknya yang lain. Orangtuanya tak lagi muda, tak lagi bisa bekerja jadi buruh serabutan. Keluarganya hanya bergantung pada hasil ternak bebek rumahan.