Perahu layar mengantarkan para pelaut menuju dermaga pada pelabuhan Marseille pagi ini. Mereka baru saja tiba sejak pelayaran mereka yang dimulai tahun lalu dalam ekspedisi perdagangannya ke berbagai belahan dunia termasuk Asia. Setiap keluarga dari masing-masing awak kapal menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan penuh sukacita, namun hanya aku yang sepertinya tetap menunggu dengan kecemasan yang memenuhi seisi kepalaku.
Matahari sudah berada di atas kepalaku, namun orang itu masih tak kunjung datang. Segala perasaan bercampur aduk membuatku seperti anak kambing yang berjalan berputar-putar tak tentu arah. Akhirnya seorang nelayan memanggilku dan berteriak dari kejauhan.
"Danies! Kemarilah, Nak." teriakan pria itu sontak mengejutkan orang-orang di sekitarnya.
Aku membersihkan air mataku dengan kain lalu segera berlari menghampirinya, Ia ternyata Paman Adhelard salah satu adik Ayahku.
"Paman, kau memanggilku sangat keras! Aku menunggu kedatangannya sejak tadi pagi, namun aku sangat cemas karena Ia tak kunjung datang."
Paman Adhelard menjawab dengan perlahan dan penuh perasaan;
"Danies, jika kau hendak menunggu ayahmu sebaiknya kau pulang dan hentikan usahamu untuk menunggunya."
"Apa maksud paman, ayahku sudah berjanji akan tiba pada hari ini seperti yang Ia tulis dalam suratnya kepadaku  beberapa bulan lalu. Lupakah Ia denganku, Paman?" jawabku sembari meneteskan air mata bagai rintik hujan kala sendu menyerang.
"Saat bulan Juni lalu, aku dan Auguste tiba pada salah-satu pulau di wilayah kolonial Belanda dengan kapal yang aku tumpangi saat itu. Kami berlabuh di pelabuhan bernama Sunda Kelapa. Aku dan ayahmu bergotong-royong bersama kelasi lainnya mengangkut semua barang dagangan yang kami bawa untuk diperjualbelikan. Setelah sebulan sejak pertama menjejakan kaki di negeri yang dikatakan bernama Hindia Belanda oleh masyarakat sekitar, Sang Captain memutuskan untuk melanjutkan pelayarannya. Saat itu pula aku menyadari Auguste yaitu ayahmu tidak berada di kapal dan tidak ada satupun awak kapal yang mengetahui kabar dari ayahmu."
"Benarkah itu, Paman? Aku kenal sekali dengan ayahku. Ia tak pernah ingkar janji padaku!" ucapku padanya dengan lantang.
"Lebih baik kau pulang, Danies. Ayahmu mungkin tidak akan kembali" Jawab Paman Adhelard dengan airmuka penuh kesedihan.
Lalu, aku berlari dan mengutuk segala hal yang terjadi kepadaku selama di perjalanan pulang menuju rumah.
***
Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Aku sudah berumur 20 tahun dan menjadi pelaut seperti ayahku. Pelayaran pertamaku dimulai ketika berumur 16 tahun di sebuah kapal layar yang bertolak dari pelabuhan Marseille menuju pelabuhan Humburg. Disinilah penderitaanku dimulai ketika menjabat sebagai kelasi dan sekaligus anak buah kapal termuda di kapal itu. Dan, kini aku sudah mengarungi beberapa negara di Eropa. Namun, takdir belum mempertemukan antara aku dan ayahku. Kapal yang aku layari tak pernah menuju Hindia Belanda, walau begitu aku tetap percaya bahwa Ia masih hidup dan berada di suatu tempat. Kenangan masa kecil bersamanya selalu membuatku tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Suatu hari, kapal kami tiba di Singapore. Salah satu negeri yang menjadi daerah kekuasaan Inggris. Aku melaksanakan pesiar pertama bersama rekanku sebagai kelasi. Aku hendak membeli beberapa pakaian untuk dibawa pulang. Namun, suatu ketika aku mengunjungi toko kelontong dan membeli beberapa barang. Seseorang menghampiriku dan mengatakan sesuatu yang membuatku gugup seketika.
"Nak, aku seperti sudah melihatmu sebelumnya. Wajahmu sungguh tak asing, apa kau baru tiba di sini?" tanya orang itu dengan penuh perhatian.
"Maaf Tuan, ini adalah pelayaran pertamaku menuju Singapore. Aku baru pertama kali tiba di negeri ini. Mungkin aku bukan orang yang kau maksud." jawabku dengan melihat matanya yang menyala-nyala bagai bola pijar.
"Tidak, aku sangat mengenal wajahmu. Orang bilang pelaut tidak pernah berkata selamat tinggal. Itu membuat aku tak pernah melupakan orang-orang yang sudah aku temui." Pria  itu bersikeras hingga membuatku ingin membungkam mulutnya yang tercium bau alkohol sangat pekat.
"Sungguh, Tuan. Aku tak pernah bertemu denganmu sebelumnya." Jawabku sebari berfikir bahwa Ayahku yang sepertinya sudah Ia temui.
"Coba jelaskan seseorang yang kau temui itu, Tuan." pertanyaanku pada tuan yang aku rasai seorang pemabuk.
"Ya, aku temui dia di Hindia Belanda dua tahun lalu. Aku selalu memanggilnya "Si Perancis" karena orang-orang akan langsung tahu bahwa Ia adalah totok Perancis dari pertemuan pertama."
"Aku hendak mencari orang itu, dialah ayahku!" kecurigaanku semakin menguat.
"Ya, pria itu selalu menghisap tembakau bersamaku saat senja sembari menerawang cakrawala. Ia sudah menjadi sahabatku selama di Hindia Belanda."
"Ya, tidak salah lagi itulah ayahku!"
Antara haru dan sendu mulai menyerang jiwaku secara membabi buta menjadikan aku seperti seseorang yang kehilangan akal. Pada pelayaran selanjutnya, aku memilih tetap tinggal dan tak mengikuti lagi kemana kapalku berlayar. Captain kapalku tidak peduli atas kepergianku karena baginya akan banyak kelasi yang ingin menggantikan posisiku.
Hanya Tuan itu yang aku kenal di negeri yang terlalu banyak orang berwajah sipit seperti orang-orang berkuncir yang pernah aku temui sebelumnya. Kami bersama-sama mencari penghidupan dengan bekerja apa saja demi menyambung hidup. Warna kulit adalah karunia Tuhan yang selalu membuat kami merasa beruntung karena bukan pekerjaan rendahan yang kami kerjakan.
Hidup selalu berputar bagai roda pedati. Takdir selalu mengikuti kemana arah haluan yang kami tuju. Karena aku dan Si Pemabuk itu kerap berada di dermaga, kami menjadi tahu setiap kapal yang tiba dan kapal yang hendak melanjutkan pelayarannya. Dan, suatu hari sebuah kapal layar berbendera Inggris diketahui akan menuju negeri Hindia Belanda. Kabar itu, membuatku bergegas untuk menghampiri kapal itu yang sedang melakukan bongkar-muat. Pada akhirnya, kami dipekerjakan sebagai kelasi di kapal yang terkesan sangat gagah dengan beberapa meriam pada setiap lambungnya.
Beberapa bulan kemudian kami tiba di negeri Hindia Belanda dan bersandar di pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia. Barisan kapal-kapal terlihat sejauh mata memandang bersandar di pelabuhan ini. Beberapa lelaki pribumi terlihat kurus dan lesuh berlalu-lalang membawa barang bawaan tuannya masing-masing. Sebuah negeri yang terlalu indah untuk daerah kolonial.
Ketika kapal yang kami layari sandar, saat itulah hubunganku dengan seluruh batalion tentara Inggris itu selesai. Karena tujuanku hanya mencari ayah yang sudah lama sekali tak kutemui. Si Pemabuk yang selalu menyerahkan tugasnya selama kapal berlayar kepadaku menemani perjalananku di negeri Hindia Belanda ini. Ia mengetahui beberapa tempat yang dahulu sering Ia kunjungi bersama ayahku. Mulai dari sebuah Bar di tengah kota hingga rumah plesiran.
Satu bulan pertama tidak membuahkan hasil sedikitpun bahkan tak ada kabar sama sekali tentang ayahku. Rasa putus asa mulai menghantuiku sepanjang malam. Hingga akhirnya Si Pemabuk itu mulai akrab denganku dan kami dipersatukan oleh beberapa botol minuman keras disetiap malamnya. Keesokan harinya aku melanjutkan pencarianku, namun kali ini tanpa Si Pemabuk karena Ia lebih memilih tinggal di losmen dengan seekor kucing yang Ia temui.
 ~Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H