"Ya, pria itu selalu menghisap tembakau bersamaku saat senja sembari menerawang cakrawala. Ia sudah menjadi sahabatku selama di Hindia Belanda."
"Ya, tidak salah lagi itulah ayahku!"
Antara haru dan sendu mulai menyerang jiwaku secara membabi buta menjadikan aku seperti seseorang yang kehilangan akal. Pada pelayaran selanjutnya, aku memilih tetap tinggal dan tak mengikuti lagi kemana kapalku berlayar. Captain kapalku tidak peduli atas kepergianku karena baginya akan banyak kelasi yang ingin menggantikan posisiku.
Hanya Tuan itu yang aku kenal di negeri yang terlalu banyak orang berwajah sipit seperti orang-orang berkuncir yang pernah aku temui sebelumnya. Kami bersama-sama mencari penghidupan dengan bekerja apa saja demi menyambung hidup. Warna kulit adalah karunia Tuhan yang selalu membuat kami merasa beruntung karena bukan pekerjaan rendahan yang kami kerjakan.
Hidup selalu berputar bagai roda pedati. Takdir selalu mengikuti kemana arah haluan yang kami tuju. Karena aku dan Si Pemabuk itu kerap berada di dermaga, kami menjadi tahu setiap kapal yang tiba dan kapal yang hendak melanjutkan pelayarannya. Dan, suatu hari sebuah kapal layar berbendera Inggris diketahui akan menuju negeri Hindia Belanda. Kabar itu, membuatku bergegas untuk menghampiri kapal itu yang sedang melakukan bongkar-muat. Pada akhirnya, kami dipekerjakan sebagai kelasi di kapal yang terkesan sangat gagah dengan beberapa meriam pada setiap lambungnya.
Beberapa bulan kemudian kami tiba di negeri Hindia Belanda dan bersandar di pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia. Barisan kapal-kapal terlihat sejauh mata memandang bersandar di pelabuhan ini. Beberapa lelaki pribumi terlihat kurus dan lesuh berlalu-lalang membawa barang bawaan tuannya masing-masing. Sebuah negeri yang terlalu indah untuk daerah kolonial.
Ketika kapal yang kami layari sandar, saat itulah hubunganku dengan seluruh batalion tentara Inggris itu selesai. Karena tujuanku hanya mencari ayah yang sudah lama sekali tak kutemui. Si Pemabuk yang selalu menyerahkan tugasnya selama kapal berlayar kepadaku menemani perjalananku di negeri Hindia Belanda ini. Ia mengetahui beberapa tempat yang dahulu sering Ia kunjungi bersama ayahku. Mulai dari sebuah Bar di tengah kota hingga rumah plesiran.
Satu bulan pertama tidak membuahkan hasil sedikitpun bahkan tak ada kabar sama sekali tentang ayahku. Rasa putus asa mulai menghantuiku sepanjang malam. Hingga akhirnya Si Pemabuk itu mulai akrab denganku dan kami dipersatukan oleh beberapa botol minuman keras disetiap malamnya. Keesokan harinya aku melanjutkan pencarianku, namun kali ini tanpa Si Pemabuk karena Ia lebih memilih tinggal di losmen dengan seekor kucing yang Ia temui.
 ~Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H