Lalu, aku berlari dan mengutuk segala hal yang terjadi kepadaku selama di perjalanan pulang menuju rumah.
***
Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Aku sudah berumur 20 tahun dan menjadi pelaut seperti ayahku. Pelayaran pertamaku dimulai ketika berumur 16 tahun di sebuah kapal layar yang bertolak dari pelabuhan Marseille menuju pelabuhan Humburg. Disinilah penderitaanku dimulai ketika menjabat sebagai kelasi dan sekaligus anak buah kapal termuda di kapal itu. Dan, kini aku sudah mengarungi beberapa negara di Eropa. Namun, takdir belum mempertemukan antara aku dan ayahku. Kapal yang aku layari tak pernah menuju Hindia Belanda, walau begitu aku tetap percaya bahwa Ia masih hidup dan berada di suatu tempat. Kenangan masa kecil bersamanya selalu membuatku tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Suatu hari, kapal kami tiba di Singapore. Salah satu negeri yang menjadi daerah kekuasaan Inggris. Aku melaksanakan pesiar pertama bersama rekanku sebagai kelasi. Aku hendak membeli beberapa pakaian untuk dibawa pulang. Namun, suatu ketika aku mengunjungi toko kelontong dan membeli beberapa barang. Seseorang menghampiriku dan mengatakan sesuatu yang membuatku gugup seketika.
"Nak, aku seperti sudah melihatmu sebelumnya. Wajahmu sungguh tak asing, apa kau baru tiba di sini?" tanya orang itu dengan penuh perhatian.
"Maaf Tuan, ini adalah pelayaran pertamaku menuju Singapore. Aku baru pertama kali tiba di negeri ini. Mungkin aku bukan orang yang kau maksud." jawabku dengan melihat matanya yang menyala-nyala bagai bola pijar.
"Tidak, aku sangat mengenal wajahmu. Orang bilang pelaut tidak pernah berkata selamat tinggal. Itu membuat aku tak pernah melupakan orang-orang yang sudah aku temui." Pria  itu bersikeras hingga membuatku ingin membungkam mulutnya yang tercium bau alkohol sangat pekat.
"Sungguh, Tuan. Aku tak pernah bertemu denganmu sebelumnya." Jawabku sebari berfikir bahwa Ayahku yang sepertinya sudah Ia temui.
"Coba jelaskan seseorang yang kau temui itu, Tuan." pertanyaanku pada tuan yang aku rasai seorang pemabuk.
"Ya, aku temui dia di Hindia Belanda dua tahun lalu. Aku selalu memanggilnya "Si Perancis" karena orang-orang akan langsung tahu bahwa Ia adalah totok Perancis dari pertemuan pertama."
"Aku hendak mencari orang itu, dialah ayahku!" kecurigaanku semakin menguat.