Siang ini, matahari terasa lebih gagah dari biasanya. Pepohonan menyambutnya dengan berlinang air mata yang kian mengering, sekolompok bebatuan tersungkur tak berdaya karena tak ada lagi tumpuan sebagai penyangga, rerumputan tertunduk lemas bahkan ada pula yang tersujud terhadap kegagahan Sang Mentari. Â
Semua terlihat terang-benderang namun udara siang ini terasa sangat sejuk bagi daerah yang sedang mengalami musim paceklik. Terlihat setangkai bunga yang sedang menahan hausnya dahaga, dihinggapi sepasang kupu-kupu yang lelah sehabis berkelana kesana-kemari dalam perjalanan cinta mereka.
"Bersyukurlah kita sebagai mahkluk yang mampu terbang bebas sekehendak kita. lihatlah semut pekerja itu, Adinda! Bekerja tanpa henti untuk Sang Ratu" ucap Kupu-Kupu pejantan.
"Betul sekali Kakanda! Aku bersyukur dapat menemanimu dalam perjalanan cinta kita. Kemanapun kamu pergi, aku akan selalu menyertaimu." sambutnya dengan wajah saling memandangi tanpa henti.
Terlihat pula ratusan koloni semut pekerja bersusah-payah membangun sarang barunya pada lubang hitam yang terlampau luas pada kedalamannya.
"Bergegaslah kalian para pekerja! kumpulkan segala macam makanan yang tersisa untuk Sang Ratu, sebelum panas ini membinasakan kalian!" perintah komandan koloni sembari menahan dahaga.
"Sahaya, Tuan Paduka!!" teriak semut pekerja dalam kepasrahan.
Tanah mengeras menghasilkan debu dalam setiap jejak langkah. Semua terlihat tak bersemangat sejak sepekan terakhir. Hujan yang dinantikan dalam setiap insan tak kunjung pula tiba hingga habis pengharapan kepada-Nya dan yang ada hanya menyisakan pula kepasrahan akan kuasa Tuhan. Sebuah masa yang ditujukan sebagai pengingat bahwa tak ada yang bersifat tak terbatas bahkan untuk penghidupan sekalipun. Setetes air kini sangat berarti bagi  benih-benih yang berusaha tumbuh dewasa.
 Namun dibalik derita dan nestapa ini, terlihat sekelopak bunga yang memancarkan pesona keindahannya dari kejauhan. Ia berbicara dengan lantang seperti singa dalam teritorialnya.
"Aku hanyalah sekuntum bunga yang lebih membutuhkan air sebagai penghidupan dari pada kalian para koloni semut, namun aku tak pernah tunduk dalam keterbatasan dan tetap dalam keteguhanku untuk tumbuh dan terus hidup!" pidatonya yang terdengar sangat lantang.
Komandan Koloni menjawabnya dengan airmuka kemerah-merahan "Pada akhirnya, engkau pun akan layu hingga patah tangkaimu dalam keadaan menyedihkan!"
"Semua makhluk hidup akan binasa pada akhirnya, namun berpasrah pada kenyataan dengan hanya menambah penderitaan pada bawahanmu bukanlah sifat dari mahkluk hidup!" Teriak Sekelopak Bunga dalam nada suara hampir habis.
"Tidak perlu menggubris suaranya, kerjakan saja perintahku!" perintah Sang Komandan yang sudah naik pitam.
"Sahaya, Tuan Paduka!" jawab semua semut pekerja dalam ketakutan.
 Semua koloni semutpun meneruskan pekerjaannya hingga berhari-hari lamanya. Sementara Sekelopak  Bunga tetap dalam penantian hujan yang tak kunjung datang, walau begitu Ia masih tetap dengan kecantikan warnanya dan tetap bersolek seakan-akan tak menggubris musim yang akan membinasakannya kelak.
 Sekelopak bunga yang mengajarkan pada semua tentang kemandirian, kedewasaan bahkan sifat tak gentar dalam mengahadapi ujian yang sungguh berat dan menyesakan. Sekelopak bunga semerbak merekah tumbuh subur dalam kesederhanaan menyatakan penolakannya untuk menyerah dalam ujian dan cobaan di penghujung musim ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H