"BTW, aku sering lihat kamu disini. Aku sering mancing di ujung seberang sana" Ia menoleh kebelakang menunjuk sebuah spot di semenanjung, kemudian menatapku lagi. Ia membaca diriku.
"Saat lewat sini aku selalu melihatmu serius dengan pensil dan buku itu."
Kulihat ia lamat sesaat, mencoba memahami bahasa dan raut mukanya kala itu. Wajahnya ramah, santai, ekspresif. Matanya teduh namun sorotnya begitu tajam.
"Iya aku sering menyendiri disini, menggambar" kujawab seadanya.
"oh, kamu anak seni rupa ?"
"Enggak, cuma hobi aja"
Ia menganggukkan kepala. Kemudian mengendurkan senar pada pancingnya. Sedang aku kembali menengadahkan pandangan ke langit sana.
"Aku pernah jadi penikmat langit senja, namun sekarang tidak lagi" ia berhenti senjenak. Aku mencoba memahami maksudnya.
"Ia indah dan penuh dengan harapan namun ujungnya ia akan pergi. Menyisakan gelap malam. Sekarang aku lebih percaya dengan fajar yang hadir menyibak kegelapan. Menghadirkan kebangkitan"
Kuarahkan pandanganku padanya, sedang ia memandang ke arah senja di depan sana. Ia terus bercerita, menguraikan filosofi dan pandangannya dengan begitu mempesona. Setelah selesai ia melihat ke arahku.
"Dan ini sebagai gantinya kalo sore gini" ia menggerak gerakkan pancingnya.