Yogyakarta, 19 Juli 2024 - Berdasarkan data terbaru dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak berkonflik dengan hukum di Indonesia terus meningkat dari tahun 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, hampir 2.000 anak terlibat dalam konflik hukum, dengan 1.467 anak berstatus tahanan dan sedang menjalani proses peradilan, sementara 526 anak menjalani hukuman sebagai narapidana.
Faktor-faktor seperti pengaruh sosial, tekanan kelompok, internalisasi norma yang keliru, dan konflik keluarga menjadi penyebab utama perilaku menyimpang anak-anak. Anak-anak berusia 8-12 tahun, yang berada dalam tahap perkembangan yang labil, sangat rentan terpengaruh oleh perilaku negatif. Pengalaman di penjara seringkali memberikan pelajaran tentang perilaku kriminal lainnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengutamakan penyelesaian kasus anak melalui diversi, dengan pendekatan retributive justice. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah tingginya kasus residivisme di kalangan mantan narapidana anak. Berdasarkan data Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung, pada Maret 2015, 42,8% penghuni lembaga pemasyarakatan anak terlibat dalam kasus pencurian.
Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang SPPA menjelaskan bahwa Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana teknis yang memainkan peran penting dalam proses peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Proses ini melibatkan tahap pra ajudikasi, ajudikasi, dan post ajudikasi. Peran Bapas dalam tahap diversi melibatkan musyawarah bersama orang tua dan pembimbingan kemasyarakatan sesuai dengan pendekatan keadilan restoratif.
Salah satu Bapas yang berperan dalam pemenuhan hak ABH adalah Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) "Antasena" ada di Magelang. BRSAMPK Antasena atau sekarang dikenal dengan Sentra Antasena terlibat dalam proses peradilan ABH dari awal penangkapan anak hingga penyelesaian masa hukumannya, khususnya untuk ABH di wilayah Kabupaten Magelang dan sekitarnya.
Penelitian Husmiati (2013) menunjukkan bahwa ABH di Sentra Antasena mengalami perubahan perilaku seperti kembali bersekolah dan lebih patuh kepada orang tua. Sumarno dan Jayaputra (2015) juga menemukan bahwa kondisi psikologis dan ekonomi ABH di Sentra Antasena menunjukkan perubahan perilaku yang positif dan kecenderungan untuk mandiri dalam kegiatan ekonomi. Namun, penelitian sebelumnya cenderung fokus pada pengumpulan data tentang kondisi ABH setelah rehabilitasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor penyebab keberhasilan atau upaya pencegahan terhadap ABH yang kembali melakukan tindak pidana.
"Diperlukan penelitian lebih lanjut di Sentra Antasena Kabupaten Magelang untuk memahami kondisi psikologis ABH dan upaya pencegahan residivisme. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar yang lebih kuat untuk pengembangan strategi dan kebijakan yang lebih efektif dalam menangani masalah ABH di tingkat lokal." ujar Acep Rusmana, mahasiswa MKP UGM 2022, mewakili tim Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), di Fisipol UGM, Rabu 3 Mei 2024
Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi bagaimana regulasi dan pertimbangan hukum terhadap anak berkonflik dengan hukum, dinamika kehidupan di balai rehabilitasi, dan dampak psikologis pada ABH, serta model strategi preventif yang efektif untuk mencegah pengulangan tindak pidana.
Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) "Antasena" di Magelang memainkan peran penting dalam rehabilitasi ABH. Berbagai program yang diterapkan di Antasena sesuai dengan Permensos Nomor 16 Tahun 2021, termasuk bimbingan keagamaan, psikologis, keterampilan, seni, olahraga, dan bimbingan sosial luar panti.
Kegiatan di Antasena seperti pelatihan keterampilan, olahraga, dan seni telah membantu ABH mengembangkan diri dan mengatasi dampak psikologis dari pengalaman mereka. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas seperti membatik, bengkel, dan olahraga membantu meningkatkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab anak.
ABH sering menghadapi tantangan psikologis seperti rasa takut, cemas, dan stigma sosial. Dukungan dari berbagai pihak di Antasena membantu mereka membangun kembali kepercayaan diri dan mengatasi rasa takut. Namun, stigma dari masyarakat seringkali menjadi tantangan besar bagi ABH saat kembali ke kehidupan sosial, sehingga meningkatkan risiko residivisme.
"Mencegah residivisme pada ABH memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan dukungan sosial dan mental, serta program pembelajaran dan keterampilan yang disukai anak. Dukungan dari keluarga dan orang terdekat memainkan peran penting dalam membantu ABH merasa dihargai dan menyadari kesalahan mereka. Selain itu, program keterampilan yang berkelanjutan dan pengawasan yang baik dapat membantu ABH tetap berada di lingkungan yang positif dan produktif." ungkap Vita Mahasiswa Fakultas Hukum UGM angkatan 2022.
Acep menjelaskan penelitian yang dilakukan selama empat bulan dengan responden 5 ABH di Antasena bertujuan untuk melihat dampak psikologis ABH di Balai Antasena selama mereka direhabilitasi disana, dengan mengkomparasikan regulasi yang digunakan dan melihat celah dari regulasi tersebut terhadap psikologis ABH, sehingga dapat merumuskan strategi preventif agar meminimalisir terjadinya Residivis di kemudian hari. Â Publikasi ilmiah hasil riset ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko dan dampak kasus anak berkonflik dengan hukum. Informasi yang disajikan secara ilmiah dapat membantu masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun strategi yang lebih efektif untuk mencegah kejahatan oleh anak dan mendukung rehabilitasi mereka. Dengan demikian, penanganan yang tepat dan dukungan yang berkelanjutan dapat membantu ABH menjalani kehidupan yang lebih baik dan mengurangi risiko residivisme di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H