Selama kampanye Pilkada DKI Jakarta, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sering melontarkan gagasan terkait keberpihakkan. Ia mengklaim bahwa pemerintahannya nanti akan berpihak pada masyarakat kecil yang selama ini terpinggirkan.
Pasca terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies-Sandi merancang kebijakan yang diklaimnya untuk mewujudkan gagasannya tersebut.
Namun anehnya hingga 100 hari kepemimpinannya di Jakarta tampaknya apa yang dikerjakan Anies-Sandi justru menjauhi dari apa yang pernah digagasnya di atas. Kebijakan yang diterapkannya terlihat tidak menguntungkan masyarakat kecil, justru sebaliknya malah banyak yang merugikan mereka. Jadi pertanyaannya untuk siapa yang keberpihakan yang dimaksud Anies-Sandi?
Kita tentu ingat bahwa dalam politik dikenal sebuah kredo bahwa "tak ada makan siang yang gratis". Kepentingan menjadi dorongan utama berpihak atau tidak berpihak. Begitu pula dalam kasus Anies-Sandi di Pilkada kemarin.
Selama Pilkada DKI Jakarta, Anies-Sandi didukung kekuatan oligarki lama. Mereka yang selama ini menjadi 'jagoan', broker politik, atau pemburu rente pada masa-masa sebelumnya. Mereka berkumpul bersama dengan kelompok Islam fundamentalis untuk menjatuhkan Ahok.
Saat Anies-Sandi menang, tentu saja setiap pihak yang mendukungnya akan menuntut bagian. Terutama jatah distribusi sumber daya dari pemerintahan saat ini.
Hal tersebut, misalnya, terlihat dari kebijakan Anies-Sandi dalam menutup Jalan Jatibaru Tanah Abang. Kita tahu bahwa kebijakan tersebut pada dasarnya tidak berpihak pada pedagang, sopir dan rakyat kecil di sana, melainkan justru berpihak pada "penguasa" wilayah tersebut.
Kawasan itu selama ini dikenal sebagai jangkauan kekuasaan H. Lulung. Saat gubernur sebelumnya memimpin, Tanah Abang ditata sedemikian rupa dan dibereskan dari pungutan-pungutan liar. Hal itu membuat pemasukan para 'penguasa' di sana menjadi jauh berkurang.
Karenanya H. Lulung saat itu begitu berseteru dengan Gubernur DKI Jakarta. Ia ingin menjatuhkan Ahok saat itu. Kemudian, saat Pilkada DKI Jakarta digelar, H. Lulung dan pendukungnya turut berjuang memenangkan Anies-Sandi.
Setelah Anies-Sandi menang, tentu dukungan H. Lulung itu tidak gratis. Ia meminta 'jatahnya' dikembalikan lagi. Para PKL di Tanah Abang harus diperbolehkan berdagang lagi karena disanalah sumber pendapatannya  tersedia.
Dan, kita lihat saat ini, wilayah tersebut kembali lagi seperti beberapa tahun lalu. Hal itu diwujudkan Anies-Sandi dalam kebijakan penutupan Jalan Jatibaru untuk berdagang para PKL.
Padahal, kita tahu kebijakan itu merugikan masyarakat kecil, seperti sopir angkot dan para pedagang yang sudah ditata di Pasar Tanah Abang. Selain itu, kebijakan tersebut juga menabrak Undang-Undang yang berlaku, terutama soal fungsi jalan dan ketertiban umum.
Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan keberpihakan Anies-Sandi sebenarnya bukan kepada masyarakat kecil, melainkan kepada pihak-pihak yang telah mendukungnya saja. Anies-Sandi hadir sebagai Gubernur untuk membela kepentingan para pemodal dan pendukungnya itu.
Itu terlihat dari kasus di atas. Penataan Pasar Tanah Abang bukan berpihak pada rakyat kecil Jakarta, melainkan kepada H. Lulung. Demonstrasi sopir dan keluhan para pedagang merupakan ekspresi politik atas kasus itu.
Dalam kebijakan yang lain juga hampir sama. DP 0 persen bila ditilik serius juga tidak berpihak pada rakyat yang terpinggirkan.
Banyak kebohongan dalam kebijakan DP 0 persen. Misal, soal bentuknya yang rumah susun, platform penghasilan yang ditentukan, juga bunga pembayaran rumah tersebut.
Kemudian, soal upah minimum buruh juga serupa. Apa yang dijanjikan Anies-Sandi pada buruh diingkarinya hanya dalam tempo sebulan setelah menjabat.
Ia meneken UMP yang sangat rendah bagi para buruh di Jakarta. Akibatnya, demonstrasi buruh merajalela. Mereka juga telah mencabut mandat pada gubernur baru itu karena dinilai berkhianat.
Berbagai ekspresi di atas menggambarkan hal yang sama, yaitu keberpihakkan. Namun keberpihakkan itu kepada siapa? Jelas bukan pada masyarakat kecil Jakarta, sebagaimana yang digembar-gemborkannya saat kampanye dulu.
Begitulah kelakuan politisi busuk. Mereka hanya mengobral janji hanya untuk mendapatkan jabatan. Kepentingan sebenarnya hanya untuk diri sendiri, bukan untuk masyarakat luas.
Mengutip sajak W.S. Rendra, tampaknya sangat cocok untuk Anies-Sandi.
"Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina.
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
"Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI