Padahal, kita tahu kebijakan itu merugikan masyarakat kecil, seperti sopir angkot dan para pedagang yang sudah ditata di Pasar Tanah Abang. Selain itu, kebijakan tersebut juga menabrak Undang-Undang yang berlaku, terutama soal fungsi jalan dan ketertiban umum.
Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan keberpihakan Anies-Sandi sebenarnya bukan kepada masyarakat kecil, melainkan kepada pihak-pihak yang telah mendukungnya saja. Anies-Sandi hadir sebagai Gubernur untuk membela kepentingan para pemodal dan pendukungnya itu.
Itu terlihat dari kasus di atas. Penataan Pasar Tanah Abang bukan berpihak pada rakyat kecil Jakarta, melainkan kepada H. Lulung. Demonstrasi sopir dan keluhan para pedagang merupakan ekspresi politik atas kasus itu.
Dalam kebijakan yang lain juga hampir sama. DP 0 persen bila ditilik serius juga tidak berpihak pada rakyat yang terpinggirkan.
Banyak kebohongan dalam kebijakan DP 0 persen. Misal, soal bentuknya yang rumah susun, platform penghasilan yang ditentukan, juga bunga pembayaran rumah tersebut.
Kemudian, soal upah minimum buruh juga serupa. Apa yang dijanjikan Anies-Sandi pada buruh diingkarinya hanya dalam tempo sebulan setelah menjabat.
Ia meneken UMP yang sangat rendah bagi para buruh di Jakarta. Akibatnya, demonstrasi buruh merajalela. Mereka juga telah mencabut mandat pada gubernur baru itu karena dinilai berkhianat.
Berbagai ekspresi di atas menggambarkan hal yang sama, yaitu keberpihakkan. Namun keberpihakkan itu kepada siapa? Jelas bukan pada masyarakat kecil Jakarta, sebagaimana yang digembar-gemborkannya saat kampanye dulu.
Begitulah kelakuan politisi busuk. Mereka hanya mengobral janji hanya untuk mendapatkan jabatan. Kepentingan sebenarnya hanya untuk diri sendiri, bukan untuk masyarakat luas.
Mengutip sajak W.S. Rendra, tampaknya sangat cocok untuk Anies-Sandi.
"Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina.