Dikutip melalui jurnal Regulasi Emosi Sebagai Moderator pada Pengaruh Ketidakamanan Kerja terhadap Kesejahteraan Psikologis Selama Pandemi COVID-19 oleh Maria Febiola, dampak covid-19 terhadap kesehatan mental, menemukan hasil bahwa terdapat peningkatan gejala depresi dan kecemasan selama pandemi dibandingkan dengan data sebelumnya. Pandemi ini sangat membuat stress bagi para dewasa muda, perempuan, orang dengan penghasilan rendah, dan pengangguran (Pich et al., 2020). Ini terbukti sejalan dengan hasil survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap lebih dari 20.000 keluarga, 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi dan pembatasan sosial. Hal itu terjadi pada April-Mei 2020.
Seperti yang telah disebutkan, bahwa berbagai perubahan yang terjadi akibat pandemi covid-19 menimbulkan perubahan pada sisi emosional setiap orang. Misalnya saja, seseorang yang terdampak PHK akibat pandemi ini akan rentan mengalami permasalahan emosional dalam dirinya. Kebiasaan bekerja dan memiliki penghasilan seketika berubah dan mengancam mereka untuk tidak lagi memiliki penghasilan. Terlebih lagi pada seorang pria yang merupakan tulang punggung keluarga. Ini tentu akan memancing rasa cemas dan gelisah dalam dirinya mengingat mungkin saja banyak tanggungan yang harus dilunaskan. Seperti kebutuhan sehari - hari dalam rumah tangga, biaya sekolah anak, dan lain sebagainya. Hanya saja, pria cenderung buruk dalam mengekspresikan perasaannya. Mereka cenderung lebih memilih memendam perasaan dan menutupi emosinya.
Emosi yang dipendam terus-menerus juga bisa menyebabkan gangguan cemas. Gangguan cemas berkepanjangan mengakibatkan otak memproduksi hormon stres secara berkala. Dilansir dari laman Healthy Place, menurut studi yang dilakukan Harvard University, pria dengan karakteristik cemas, gelisah, dan memiliki batasan juga cenderung melakukan kekerasan. Tidak hanya itu, pria yang pesimistis, tertutup, serta rendah kepercayaan dirinya memiliki risiko tinggi melakukan kekerasan fisik kepada perempuan. Inilah alasannya pandemi covid-19 menyebabkan permasalahan ekonomi yang berujung pada permasalahan sosial, berupa kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka 1). Dalam UU PKDRT, tindak KDRT diatur dalam Pasal 5 dan dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: (1) kekerasan fisik; (2) kekerasan psikis; (3) kekerasan seksual; dan (4) penelantaran rumah tangga. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu gejala abnormal dalam masyarakat karena bertentangan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat.Â
Dilansir dari komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan, sepanjang tahun 2020 Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan sejumlah 8.234 kasus. Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Tidak hanya di Indonesia, dikutip kembali melalui media Indonesia, WHO menyatakan bahwa banyak negara yang melaporkan peningkatan kasus KDRT yang terjadi pada masa pandemi. Di Spanyol misalnya, persentase KDRT pada april 2020 naik hingga menyentuh angka 60%. Di Prancis, laporan KDRT pada Federasi Nasional untuk Solidaritas Perempuan naik 2-3 kali lipat sejak negara ini memberlakukan karantina wilayah atau lockdown.
KDRT menimbulkan permasalahan serius bagi perempuan. Diantaranya adalah mengalami sakit fisik, tekanan mental yang menyebabkan stress pasca trauma, mengalami depresi, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, dan dapat menyebabkan keinginan untuk bunuh diri. Disamping itu, KDRT juga mempengaruhi pola pikir istri, seperti selalu dilanda rasa khawatir dan ketakutan yang berlebihan, cenderung curiga, tidak mampu mempercayai orang lain, dan sulit dalam mengambil keputusan. Disisi lain, KDRT juga dapat memberikan permasalahan serius bagi reproduksi wanita. Seperti misalnya ketika KDRT terjadi saat kehamilan, maka dapat menyebabkan keguguran. Kemudian dapat menyebabkan gangguan hormon yang berdampak pada sirkulasi menstruasi perempuan. Lebih jauh, ketika akan bersalin maka akan menghambat jalan lahir karena minimnya kontraksi pada uterus.
Dampak lain dari KDRT, dikutip dalam Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, salah satu faktor penyebab terjadinya gugatan cerai adalah karena kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan cenderung tidak tahan dengan perbuatan kasar prianya. Dibandingkan harus menempuh jalur hukum, perempuan akan mengajukan perceraian yang dinilai dapat menyelesaikan masalah. Ini sejalan dengan ucapan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengungkap, ada faktor yang berpotensi menyebabkan perceraian, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurutnya, sepanjang 2019, KDRT menjadi penyumbang terbanyak kasus perceraian. Sepanjang periode tersebut, tercatat ada 7.440 kasus perceraian karena KDRT. Dikutip dari laman kata data, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat setidaknya ada 291.677 kasus perceraian di Indonesia. Dengan angka gugat cerai atau perkara perceraian yang diajukan oleh istri sebanyak 214.970 kasus. Sedangkan gugat talak atau perkara perceraian yang diajukan oleh suami sebanyak 76.707. Menurut data, ada sejumlah faktor penyebab perceraian sepanjang 2020. Di antaranya perselisihan, ekonomi, meninggalkan salah satu, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Terkait dengan perceraian akibat pandemi, 31% pasangan mengatakan pandemi covid-19 menimbulkan berbagai keretakan dalam rumah tangga dan telah merusak hubungan mereka (Lee,2020 dalam Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Ilmu Sosial). Perceraian  pada  masa  pandemi  Covid-19, dapat  diketahui secara  umum  penyebab perceraian adalah karena adanya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan  oleh permasalahan ekonomi, ketidakseimbangan aktivitas, dan waktu bersama, kekerasan dalam rumah tangga, berubah pola komunikasi, faktor usia dalam membina  rumah  tangga  (Tristanto,  2020a dalam Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Ilmu Sosial). Lebih lanjut, perceraian ini kemudian akan menimbulkan masalah sosial baru seperti anak-anak yang akan terlantar dan terancam terjerumus ke pergaulan bebas.Â
Jika ditelaah lebih lanjut mengenai paparan tersebut, bahwa masalah awal terjadinya KDRT hingga perceraian adalah karena adanya perubahan emosi pada diri seseorang sehingga akhirnya melakukan tindakan kasar, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Untuk itu perlu adanya kebijakan - kebijakan yang dikeluarkan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya permasalahan sosial tersebut. Kebijakan tersebut perlu direncanakan dengan yang disebut sebagai perencanaan sosial. Perencanaan sosial adalah usaha yang sadar dalam menentukan operasional untuk mencapai perbaikan sosial yang diinginkan. Perencanaan sosial ini merupakan model pengorganisasian dan perencanaan masyarakat dalam sektor sosial, seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan sebagainya. Pendekatan perencanaan sosial yang dapat dilakukan adalah dengan pelayanan sosial dan pemikiran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pengangguran adalah perencanaan sebagai pembelajaran sosial.Â
Tradisi pemikiran perencanaan sebagai pembelajaran sosial dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan pengangguran yang terjadi. Tradisi pemikiran ini mengharapkan masyarakat dapat ter-edukasi dan tidak bergantung pada pemerintah. Salah satu program pemerintah yang telah berjalan mengenai hal ini adalah berupa program pra-kerja. Pada kasus ini masyarakat diberikan kesempatan mengikuti pelatihan mengenai kegiatan yang diminati. Kemudian mendapatkan bantuan dana untuk menjalankan usaha sesuai pelatihan yang diminati tadi. Hanya saja sesuai dengan peran utama perencanaan sosial yakni mengembangkan dan mengevaluasi program-program sosial, program ini masih perlu pengawasan, evaluasi, dan tindak lanjut dari pemerintah. Pasalnya dana yang sampai ke tangan masyarakat justru mereka gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari. Bukan untuk menjalankan usaha seperti apa yang diharapkan. Pemerintah pusat maupun daerah harus lebih ketat dalam mengawasi berjalannya program ini. Misalnya pada pemerintahan daerah, dapat dilakukan dengan mendata masyarakatnya yang terlibat dalam program ini. Untuk kemudian meminta bukti-bukti yang faktual dan akurat mengenai bentuk nyata dari program pra-kerja yang diikuti secara berkala. Lantaran bantuan dana yang digulirkan pemerintah cukup besar dan berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Tidak sampai disitu, pemerintah juga harus mengkaji ulang mengenai daftar nama yang layak menerima bantuan ini sehingga bantuan tidak salah sasaran dan merugikan banyak pihak yang benar - benar membutuhkan.
Selain itu, dalam upaya mengurangi pengangguran dampak dari usaha mikro dan menengah, pemerintah dapat menggandeng pihak-pihak swasta dengan tujuan membangkitkan kembali operasional usaha-usaha kecil tersebut. Misalnya saja dalam hal usaha kuliner, pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor penyedia jasa pelayanan untuk memitrakan keduanya agar berkolaborasi. Lantaran dalam kasus ini, usaha kecil dan menengah terpaksa menghentikan operasional mereka lantaran pembatasan kunjungan pengunjung akibat adanya peraturan yang berlaku. Pembatasan ini kemudian berdampak pada turunnya pendapat mereka dan menghentikan operasional mereka. Pihak swasta sebagai penyedia layanan jasa akan membantu pendistribusian barang dan pihak pemerintah dapat membantu dengan memberikan suntikan dana agar usaha dapat kembali berjalan lancar.Â