Masih ingat saat supermarket diserbu waktu awal COVID 19? Stok barang di supermarket kosong karena diborong orang. Pasar diserbu pembeli untuk mendapatkan bahan pangan. Banyak orang ketakutan jika nanti bahan makanan habis dan meski punya uang ditangan, tapi tak bisa dibelanjakan karena tak ada barang.
Memegang uang tunaipun dihantui ketakutan tersendiri. Banyak di share di media sosial cara aman memegang uang tunai yang bebas virus. Tips memperlakukan uang tunaipun bertebaran. Semua karena ingin terhindar dari virus itu.
Di masa sulit seperti itu, banyak usaha gulung tikar. Roda perekonomian turun drastis. Hebatnya, usaha kecil banyak yang masih bisa selamat melewatinya. Terutama yang saya lihat di Jakarta. Usaha makanan adalah contoh yang bertahan ditengah krisis.
Mereka cepat banting stir membuat makanan siap saji dan makanan yang dibekukan yang bisa disimpan. Menghindari kontak, mereka sedapat mungkin tak menerima pembayaran kovensional yang menggunakan uang tunai berupa uang logam dan uang kertas. Mereka memilih cara bayar transaksi yang tidak menggunakan uang secara fisik atau non-tunai.Â
Alat pembayaran non-tunai yang dikenal saat ini, yakni
(1) Berbasis kartu.
Jenis yang dikenal saat ini adalah kartu kredit dan kartu debit. Kartu kredit diterbitkan oleh pihak penerbit kartu yang memungkinkan pemilik kartu dapat bertransaksi tanpa perlu memiliki rekening simpanan. Dengan kata lain, bank memberi hutang kepada pemegang kartu yang akan ditagih pada waktu tertentu. Sedang kartu debit, sipemiliknya bisa bertransaksi karena memiliki rekening simpanan. Saat pemilik bertransaksi dengan menggesek kartunya, saldo di rekeningnya akan langsung terpotong. Ini setara dengan pembayaran tunai, namun tanpa perpindahan fisik uang.
(2) Berbasis kertas
Yang biasa dipergunakan masyarakat adalah cek dan giro. Cek yang dikeluarkan oleh sebuah bank berfungsi seperti surat perintah kepada bank untuk membayarkan sejumlah dana milik nasabah di bank tersebut untuk nama yang tertera atau pemegang cek tersebut. Sedangkan giro dipergunakan untuk memindahkan dana dari satu rekening ke rekening yang lain yang tertera, bukan untuk mengambil uang.
Dua jenis alat pembayaran non-tunai berbasis kertas lainnya adalah yang dipergunakan untuk transaksi antar bank, yaitu Nota Debit dan Nota Kredit yang dikeluarkan saat kliring.
(3) Berbasis elektronik
Jenis ini yang paling populer dan sering dipergunakan, berbasis kartu dan server. Syarat untuk bisa menggunakannya adalah mengisikan sejumlah dana di dalamnya. Untuk yang menggunakan kartu contohnya adalah e-money yang biasa digunakan untuk membayar biaya parkir atau tol. Yang menggunakn server misalnya e-wallet, yang hanya perlu diinstal aplikasinya, diisi dananya dan segera bisa digunakan.
Kemudahan melakukan transaksi ini sejalan dengan Gerakan Nasional Non Tunai yang diluncurkan Bank Indonesia (BI) di bulan Agustus 2014. Tujuannya untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien dan lancar yang nantinya dapat mewujudkan ekosistem cashless society.
Pada cashless society penggunaan uang tunai sedikit sekali terjadi. Transaksi keuangan dilakukan dengan menggunakan pembayaran digital. Ini dimungkinkan karena perkembangan teknologi dan digitalitalisasi yang semakin canggih.
Tentu saja ini sangat mempermudah kegiatan jual beli. Tak perlu lagi membawa tas berisi uang tunai banyak selama masih ada gawai dan kartu debet atau kartu kredit yang tersedia.
Dalam transaksi cashless, kasir akan menggesekkan kartu ke mesin untuk kartu kredit maupun debit dengan mengunakan mesin EDC (Electronic Data Capture). Biasanya mesin EDC ini terlihat berjejer di meja kasir. Mesin ini dapat digunakan untuk bertransaksi sesama bank (on us) atau transaksi antar bank (off us).   Â
Untuk menggunakan layanan EDC ini, merchant (penjual/pelaku usaha) akan dikenai potongan atau fee yang dibebankan kepada pihak merchant terkait dengan kegiatan transaksi yang dilakukan melalui EDC. Fee ini yang disebut dengan merchant discount rate (MDR). MDR ini tidak dapat dialihkan bebannya kepada pembeli yang menggunakan kartu kredit atau kartu debit.
Saat penanganan COVID 19 di Indonesia mulai terkendali, perekonomianpun mulai menggeliat pelan-pelan. Terlihat perubahan perilaku berbelanja, apalagi dilakangan anak muda. Masyarakat yang tadinya senang menggunakan uang tunai, mulai bergeser menggunakan non-tunai. Ditambah lagi dengan maraknya transaksi online yang menyediakan segala kebutuhan. Mulai dari makanan, kesehatan sampai furniture isi rumah hanya tinggal memilih yang mana yang cocok.
Pemerintah juga menghimbau masyarakat agar membeli produk yang dibutuhkan dari hasil produksi usaha dan industri kecil. Pembelian dan pembelanjaan akan produk mereka, akan sangat menolong pada saat keadaan ekonomi tak karuan. Dengan demikian, usaha dan industri kecil terdukung dan roda perekonomi bisa berputar.
Sayangnya, ternyata tak semua kota yang dipenuhi usaha dan industri kecil serta UMKM lokal disepanjang perjalanan Jakarta-Solo yang saya tempuh, bisa melayani pembayaran non-tunai dengan 'gembira'.Â
Saat makan disebuah tempat makan yang menjadi ikon daerah setempat, agak terkejut saat akan membayar. Dinfokan ada tambahan biaya 3% dari total pembayaran bila menggunakan kartu kredit dan kartu debit sebesar 1,5%.
Meski agak tak rela, namun karena uang tunai tak seberapa, terpaksa bersedia dibebani 1,5% karena menggunakan kartu debit. Lucunya, info tersebut baru diberitahukan saat akan membayar. Sebagai konsumen, saya berada diposisi yang lemah. Makanannya sudah berpindah masuk keperut. Tak mungkin tak dibayar.
Saat di daerah lain, saya terpaksa batal membeli produk tenun dan batik karena ada tambahan biaya  3% untuk kartu kredit dan 2% untuk kartu debit. Charge yang jumlahnya ratusan ribu rupiah ini tentu saja merugikan pembeli.
Jika pembelanjaan senilai Rp10 juta, bila dengan kartu kredit akan dibebani biaya tambahan sebesar 3% x 10 juta = Rp300.000,-Jika menggunakan kartu debit, akan ditambahi biaya 2% x 10 juta = Rp200.000,-. Jumlah yang cukup besar! Pembelian-pun dibatalkan meski dengan resiko hati dongkol.
Tak terfikir untuk membawa uang tunai sebanyak itu juga, bukan? Selain tak praktis, juga beresiko. Tak praktis karena harus melakukan penarikan melalui mesin ATM jumlahnya terbatas. Bila tak mencukupi, haruskah antri untuk melakukan penarikan tunai dengan membawa buku tabungan melalui teller?
Terasa lebih aneh bila saat bepergian harus membawa serta buku tabungan hanya untuk mengantisipasi hal ini. Belum lagi resiko karena membawa uang tunai juga harus diperhitungkan.
Yang membingungkan, kejadian pembebanan biaya tambahan karena menggunakan transaksi non-tunai ini terjadi hanya di pelaku usaha lokal, meskipun yang bukan  lagi usaha kecil. Sementara, bila bertransaksi dengan merchant jaringan usaha waralaba nasional maupun internasional kecil atau besar di daerah yang sama, tak ada tambahan biaya yang diberikan kepada pembeli yang menggunakan kartu maupun dengan scan barcode saja. Â
Tambahan biaya ini tentu saja merugikan konsumen/pembeli, terutama yang menggunakan kartu kredit atau kartu debit. Hak Konsumen sebagaimana disebut pada Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu hak konsumen untuk diperlakukan dan dilayani secara jujur oleh pelaku usaha dilanggar.
Saat ditanyakan kenapa ada tambahan tersebut, mereka menjawab karena bank membebani potongan ini kepada mereka. Saya 'berusaha' mengerti, jika tambahan ini dibebankan pada saat menggunakan kartu kredit, mungkin karena bank penerbit kartu berbeda dengan bank yang mengeluarkan EDCnya.
Namun jumlahnya tidak mencapai 3%. Yang membuat heran, kenapa penjual yang waralaba malah bisa tak membebankan biaya penggunaan kartu ini tak perduli bank apapun?
Setelah mencari tahu, ternyata ada peraturan mengenai sanksi hukum mengenai surcharge (biaya tambahan) yang diatur dalam Peraturan BI APMK khususnya pasal 8 ayat 2 menjelaskan bisa dilakukan penghentian kerjasama terhadap pemilik usaha  yang merugikan.
Namun, peraturan ini nampaknya belum tegas dalam melarang pengenaan biaya tambahan, hanya mengatur terhadap kewajiban acquirer untuk melakukan penghentian kerjasama dengan pemilik usaha yang terbukti melakukan kegiatan yang dapat merugikan pihak lain yang terkait yaitu pemberian biaya tambahan dalam transaksi.
Celah menguntungkan ini digunakan oleh merchant 'nakal' dengan alasan mereka juga dipotong oleh bank cukup besar. Pelaku usaha tak merasa bersalah melanggar ketentuan Bank Indonesia mengenai biaya tambahan tersebut.
Nampaknya pihak yang berwenang mengurus sistem pembayaran ini harus lebih tegas memberi sanksi kepada pelaku usaha nakal ini. Pasti banyak yang melakukan praktek merugikan konsumen seperti ini tak cuma di daerah. Â Bila dibiarkan, pengalaman jelek itu membuat malas bertransaksi di gerai lokal dari penjual lokal.
Alih-alih ikut mendukung usaha kecil lokal, maka pembeli seperti saya, akan memilih yang pasti-pasti saja. Mencari yang bisa menerima kartu debit, kartu kredit atau scan QRIS tanpa tambahan biaya. Pengusaha kecil yang produknya mungkin bagus,cantik dan unik, Â jadi tak terlirik. Entah berapa banyak lainnya yang menjadi kapok, tak bisa bertransaksi karena terkendala surcharge yang lumayan besar ini.
Ini unek-unek perjalanan saya bulan lalu. Curahan hati orang yang beberapa kali kecewa karena gagal transaksi. Tak mungkin melangkah mundur, kembali ke saat perlu tas besar untuk membawa uang tunai saat akan bertransaksi. Capek juga bila akan melakukan transaksi harus bertanya dulu soal tambahan biaya ini kepada merchant.Â
Dihimbau cashless, kok malah dikenai biaya tambahan. Membingungkan ya?
Winni Soewarno untuk Kompasiana.
Referensi :
- Jurnal Preferensi Hukum Vol. 3, No. 1--Maret 2022, Hal. 126-131. Ni Putu Dyah Ayu Karina Prabandari, I Nyoman Putu Budiartha, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Nasabah Bank Pemegang Kartu Kredit Yang Dibebankan Biaya Tambahan (Surcharge) Oleh Merchant Dalam Transaksi Pembayaran https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum DOI: ttps://doi.org/10.22225/jph.3.1.4671.126-131 Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa, Denpasar-Bali, Indonesia
- Lana Almira Lutfiana I. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Kartu Debit Terkait Pembebanan Biaya Tambahan Pada Mesin EDC (Electronic Data Captured). Â https://repository.unair.ac.id
- https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/ritel/elektronifikasi/default.aspx#:~
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220209080946-83-756802/jenis-jenis-alat-pembayaran-nontunai-alternatif-bertransaksi-saat-ini
- Yuli Yanna Fauzie. CNN Indonesia. Masih Ada Merchant 'Bandel' Pungut Biaya Gesek Kartu Nasabah. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180509101727-78-296815/masih-ada-merchant-bandel-pungut-biaya-gesek-kartu-nasabah
- Ilman A. Sudarwan. Bisnis.com. BI Sulut Tegaskan MDR Tak Bisa Dibebankan ke Konsumen. https://sulawesi.bisnis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H