sumber ilustrasi: Liputan6.com
Asep yang orang Sunda sejati diajak liburan ke Jawa Tengah oleh teman karibnya Kirman. Asep yang belum pernah bepergian ke Jawa Tengah, tentu saja dengan senang hati menerimanya.
Mereka tinggal di rumah nenek Kirman yang besar. Kirman menggeleng-geleng, rumah sebesar ini penghuninya hanya empat orang. Nenek Kirman, seorang sepupu dan suami-istri yang membantu-bantu. Di Jakarta, hanya sekelas sultan alias orang yang sangat kaya yang mampu punya rumah dan lahan sebesar ini.
Saat menikmati sore di belakang rumah, Asep melihat pak Mun yang membantu di rumah ini sedang memasak sesuatu ditungku dengan menggunakan kayu bakar. "Sedang apa, Pak?" tanyanya.
"Ngintip," jawab Pak Mun sambil mengusir asap yang mampir diwajahnya.
Asep kaget mendengar jawaban Pak Mun ini. Siapa yang mengintip? Pikirnya agak agak defensif. Jelas-jelas dia berdiri bersebelahan dengan Pak Mun. Kenapa juga ngintip?.
"Pak Mun sedang membuat apa?" Asep mengulang tanya. Bisa jadi Pak Mun tak jelas dengan pertanyaannya tadi.
"Intip." Jawab Pak Mun pendek.
Asep segera beranjak mencari cempal untuk memegang tutup panci panas itu dan mengintip isinya. Masak apa sih orang ini sebenarnya? Ditanya saja tak mau menjawab, pikir Asep agak geram. Tak didapati yang dicari, direbutnya serbet makan dari tangan Pak Mun.
"Eh.Eh..eh. Mau apa?" tanya Pak Mun kaget.
"Ngintip!" jawab Asep tegas. "Saya bukan tukang ngintip. Saya penasaran jadinya yang dipanci itu apa." Ketus sekali ucapan Asep, "Jangan sembarangan menyebut orang begitu."
Pak Mun bingung. Tak mengerti maksud Asep. Dengan rasa marah, Asep membuka tutup panci. Astaga, masak nasi!. Cuma masak nasi saja, aku disuruh intip tadi. Asep menggeleng-geleng tak mengerti. Segera ditinggalkannya Pak Mun yang masih belum hilang kebingungannya.
Dicarinya Kirman untuk melampiaskan kegeramannya. Kirman rupanya sedang duduk di teras depan. Dimeja nampak dua gelas teh dan sepiring penganan yang diatasnya dipenuhi parutan kelapa. Nampaknya enak.
"Man... itu pembantumu aneh banget. Kurang ajar malah. Ditanya lagi apa, dia malah menyebutku mengintip. Padahal dia hanya masak nasi. Memangnya seperti itu kebiasaan disini? Masak nasi di tungku? Bukankah didalam ada alat penanak nasi.? Apa memang begitu kebiasaan disini.? " Sembur Asep pada Kirman.
"Sabar. Sabar. Memangnya ada apa?" Asep kemudian menceritakan kejadiannya pada Kirman. Belum selesai ceritanya, Kirman sudah terbahak-bahak.
"Ini lho yang dibuat Pak Mun," tunjuknya pada makanan yang penuh kelapa di piring itu. "Ini dari nasi yang sengaja digosongkan di panci. Itu Pak Mun lagi bikin." Asep merasa perutnya mulai berputar.
"Jadi ini yang namanya mengintip?" suara tanyanya terdengar tak yakin.
"Intip. Kalau 'ngintip itu membuat intip ini. Mungkin kamu lebih kenal dengan sebutan kerak nasi. Dulu kerak nasi tidak sengaja terbentuk. Kalau sekarang malah sengaja dibuat. Kalau tak suka yang seperti ini, kerak ini bisa diberi bumbu sedikit, dijemur lalu digoreng. Enak. Gurih. Kalau suka, ada yang dibubuhi gula cair juga di atasnya," jelas Kirman tanpa berhenti mengunyah.
Asep terhenyak. Tadi dia kesal pada Pak Mun karena dipikirnya Pak Mun menyebutnya pengintip. Ternyata, yang sedang dibuat Pak Mun memang namanya 'intip'. Astaga. Harus minta maaf ini, pikirnya.
"Ini dicoba dulu. Mumpung masih hangat. Enak. Gurih. Kalau suka tambahkan ini. Kami menyebutnya bubuk. Dibuat dari kacang tholo yang disangrai dan digiling kasar, Di Jakarta dinamakan kacang tunggak. Agak pedas karena diberi cabai."
"Intip ya..." Asep agak ragu namun tangannya mencuil makanan yang membuatnya darah tinggi tadi. Dia menggangguk-angguk saat tahu rasanya yang enak.
Oh, intip, desisnya nikmat. Akan kubiarkan Pak Mun mengintip kalau seenak ini!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H