Mohon tunggu...
Winni Soewarno
Winni Soewarno Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa yang sedang belajar menulis

Perempuan yang sedang belajar menulis dan mengungkapkan isi kepala. Kontak : cempakapt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

When I'm Fall in Love With...

11 Mei 2022   15:04 Diperbarui: 11 Mei 2022   15:21 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ini orang yang suka sekali menikmati makanan. Terutama jika makanan itu pedas. Pasti nikmat di lidahku. Kata nenekku, lidahku bukan lidah orang Jawa lagi karena tak suka masakan manis.

Jika sedang melakukan tugas ke daerah, mencoba kuliner termasuk dalam daftar yang akan kulakukan diwaktu luangku. Meski begitu, aku menghindari makanan-makanan yang ekstrim, meskipun orang bilang itu enak.

Meskipun tidak termasuk dalam daftar makanan ekstrimku, jengkol dan petai masuk dalam menu makanan yang belum sanggup kumasukkan ke mulutku. Dimasak saja aku tak suka. Bau petai menurutku sangat menyengat. Apalagi dimakan mentah dengan sambal dan lalab seperti yang dilakukan teman-temanku.

Jengkol juga begitu. Meski teman-temanku dengan nikmatnya menyantap jengkol muda, lidahku belum tega.

Aku juga tak tahu alasannya kenapa aku tak suka dua jenis bahan makanan ini. Bisa jadi karena dalam keluargaku, makanan ini tidak terlalu diminati. Ayahku bilang, baunya menyengat. Jelas sekali ibuku juga jadi enggan menggunakannya dalam masakannya. 

Sehingga sulit juga bagiku membiasakan diri menikmatinya. Betul juga kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Sampai suatu hari aku melakukan perjalanan dinas ke kota Padang, Sumatera Barat. Bosku mentraktir makan malam di sebuah rumah makan. Seperti biasa, segala jenis makanan disajikan. Bau nasi hangat menguar di udara, membangkitkan selera makan. 

Ditambah kami memang melewati makan siang hari itu karena pekerjaan yang harus selesai segera. Bersyukur karena sebelum jam lima, tugas selesai. Bersiap-siap kami akan merapel makan siang yang kemalaman dengan makan malam yang agak kepagian.

Mataku tertuju pada gulai kepala ikan yang mengepul. Tak kutengok menu-menu yang lainnya. Apalagi menu petai goreng dicampur dengan teri agak besar dengan sambal hijau. Kusingkirkan kebelahku. 

Pak Nanang, sang bos,  yang mengetahui aku belum menyentuh nasiku, menyodorkan sepiring hidangan yang nampak seperti rendang.

“Coba ini. Enak. Rendang hati macan” tawarnya sambil tersenyum-senyum. Hati macan? Pikirku heran. Binatang yang dilindungi karena hampir punah ini, diambil hatinya untuk dimasak rendang?. Duh, kasian. Aku mengeluh dalam hati. Ini bos yang meminta aku mencobanya. 

Tak pantas rasanya menolak, bisa kualat. Apalagi tak mencoba makanan yang direkomendasikannya. Dengan rasa penasaran dan bersalah, aku mengambil sedikit dan mencicipinya. Nampaknya semua mata yang sedang makan bersama kami terarah kepadaku. Aku mengunyahnya perlahan sambil merasakan teksturnya.

“Tenang saja. Ini bukan diambil dari macan yang populasinya tinggal sedikit itu. Ini buah pohon tertentu. Istri saya yang orang Sunda sering menyebutnya hati macan. Cobalah dulu, supaya tahu rasanya.” Jelas si bos yang mengerti kegalauan hatiku. Aku mencobanya lagi sedikit.

“Rasanya kenyal, tidak seperti hati ayam. Tapi bumbunya enak.” Jawabku.

“Coba lagi dengan nasi panas, pasti ketagihan.” Komentar teman yang duduk disebelahku. Dia sendiri mengambil beberapa potong hati macan tadi disertai bumbu rendang keringnya yang enak. Aku jadi tergiur mencobanya lagi. Kuambil sepotong lagi dan kunikmati bersama nasi putih yang hangat ditemani daun singkong dan bayam rebus. 

Betul saja rasanya muncul. Makanan yang kumakan itu bukan kenyal. Tepatnya terasa legit. Bumbunya membuat rasa legitnya terasa. Dan aku setuju, itu memang enak.

“Bagaimana? Suka?” tanya si bos penasaran.

“Mahal ya, Pak?”tanyaku sambil menyendok dua potong lagi untuk menyelesaikan nasiku.

“Tidak terlalu. Sangat terjangkau. Di Jakarta juga ada, tapi rasanya tidak seenak disini.” Jelasnya. Aku menyesaikan makan malamku dengan setengah porsi nasi. Perutku penuh dengan gulai kepala ikan dan hati macan tadi. Puas sekali menikmati makanan Padang asli di kota Padang.

Selesai makan, bos menyalamiku. “Senang saya melihat kamu makannya pinter.” Teman-teman bertepuk tangan. Wah, jangan-jangan sisi rakusku tadi keluar tanpa sadar. Meskipun tak ada yang berkomentar, aku merasa ada yang ‘aneh’. Ada apa ya?, pikirku penasaran melihat teman-temanku tersenyum-senyum.

Belakangan, aku baru sadar kalau aku dijadikan bahan taruhan. Yang menang adalah yang mampu membuatku menyantap menu jengkol. Pak bos tentu saja yang menang, dan uangnya digunakan lagi untuk mentraktir kami makan.

Beberapa bulan berikutnya, saat sedang di Bandung, aku memperpanjang hari kembaliku ke Jakarta. Aku ingin mampir ke rumah teman lamaku. Ingin menghabiskan semalam di rumahnya demi mengobati kangen kami. Temanku ini tinggal menemani neneknya di Bandung, sementara orang tuanya di Jakarta.

Saat makan siang, sang nenek yang dipanggil dengan Nin memanjakan lidahku dengan masakan-masakan enaknya. Lalapan lengkap dengan sambal dadak dan ikan gorengnya menggugah selera. Di sebuah mangkok, aku melihat menu bumbu balado yang begitu menggiurkan. Baunya sedap, pasti nikmat di lidah. 

Tidak tahu itu apa, tapi bukan kentang karena potongannya lebih tipis dari yang biasa aku tahu. Bentuk dan warnanya juga agak berbeda dari kentang.

“Dicoba ini.” Tawar Nin. “Enak. Kancing lepis”. Keningku agak berkerenyit mendengarnya. Kancing lepis? pikirku heran. Kancing Levis, barangkali demikian otakku mencerna. Sangat faham karena beberapa temanku yang berbahasa Sunda sering mengubah huruf ‘f’ atau 'v' menjadi ‘p’.

Film menjadi pilem, contohnya. Cucu Nin, Andin yang adalah sobat kecilku sejak sekolah dasar di Jakarta dulu, tertawa mendengarnya. Bibirnya mencebik seolah mengiyakan sang nenek.

Kusendok sedikit dan kucoba. Otakku mengirim sinyal soal makanan ini. “Eeemmm…ini seperti hati macan yang aku makan di Padang.” Ujarku sambil masih mencari-cari ketepatannya. Andin tiba-tiba pecah tawanya. Sang nenek kaget melihat reaksi cucunya.

“Kenapa kancing lepis menyebutnya, Nin?” aku penasaran.

“Karena bentuknya bulat dan coklat seperti kancing celana jeans.” Andin yang tak ditanya menjawab masih dengan wajah yang geli. “Sudah, Nin. Kalau dia tahu, tak jadi makan dia.”

balipost.com
balipost.com

“Enak?” tanya sang neneksambil memperhatikanku makan. Aku mengangguk. Memang enak. Aku melihat Andin mengusap airmata karena gelinya menertawakanku. “Itu jengkol, geulis

Haté maung jeung kancing lepis téh sarua. Disebutna jengkol ” - Hati macan dan kancing lepis itu sama namanya jengkol.” Jelas sang nenek.  “Selama dia tua, dia legit dan enak dibuat berbagai masakan.”

Sendokku berhenti sebelum masuk ke mulut. “Jengkol?” tanyaku seolah mengeja kata itu.  J-e-n-g-k-o-l...? Hah… mana mungkin, tolak hatiku. "Betul, Nin?" sergahku tak percaya. Nin menggangguk sambil tersenyum lebar sementara Andin kembali terbahak-bahak. Kuhentikan makanku mencerna informasi itu.

Hayu urang cobian deui”- ayo coba lagi. Nin menyendokkan jengkol balado itu ke piringku. Galau hatiku.  Makin kuhindari, si jengkol malah seakan melambai memanggil-manggil untuk dimakan. Tak tega melihat wajah Nin yang seakan menyesal, aku mulai melanjutkan makanku.

 Sepotong demi sepotong menemani nasi putihku. Uh, rasanya makin legit di lidahku. Tak yakin kalau makanan yang kusingkir-singkirkan setiap bertemu, ternyata seenak ini. Kenapa tanganku tak bisa berhenti menyendoknya menemani nasi putihku? Halah, pekikku ngeri menghadapi berat badanku nanti.

“Bagaimana? Enak kan?. Makanya jangan bilang tak suka jengkol, tak mau petai. Kena batunya kamu. Coba dulu, baru bilang tak suka.” Andin makin menggodaku. 

Dia tahu persis aku tak mau makan jengkol atau petai sejak dulu. Alasannya bau. Tapi hati macan yang aku makan di Padang dan kancing lepis yang dibuat Nin disini sama sekali tak berbau. “Kalau bisa mengolahnya tak bau.” Sambung Nin.

Kalau mengingat pengalaman perkenalan pertamaku di Padang waktu itu, wajahku jadi memerah. Pantas saja waktu itu, pak bos dan teman-temanku bersemangat menyodorkan si hati macan. Tak sadar, kalau saat itu lidahku sedang dilibatkapada  kisah yang sedap. 

Hatiku dikenalkan pada hati macan yang enak. Belum membekas, tapi mulai merasakan. Kali berikut, pertemuanku dengan jengkol terjadi di rumah Andin.  Di Bandung itulah, hati dan lidahku kepincut sudah pada si kancing lepisnya Nin.

Meski belum sanggup menyantap jengkol muda mentah seperti Andin. Tak lagi pernah kutolak menu jengkol dengan segala variasinya. Mungkin masih ada yang ‘menyingkirkan’ jengkol dari daftar menu makan. Bisa jadi alasannya bisa sama dengan alasanku dulu. Bau. 

Tapi, jika suatu saat mendapatkan orang yang pandai memasaknya, tak mungkin rasanya tak suka lagi. Makanan raja kata Andin. Pasti enak.

Kalau seenak dan sesedap itu, kenapa mesti dijauhi, pikirku senang. Hatiku bersenandung mengikuti suara merdu opa Nat King Cole ‘when I’m fall in love….”. Ya. I’m fall in love with jengkol. Aku jatuh cinta pada jengkol.

Salam

Winni Soewarno

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun