Mohon tunggu...
Cleo ZafranAlveaho
Cleo ZafranAlveaho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Berinovasi sekreatif mungkin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ocehan nan Dinanti

26 Oktober 2023   20:02 Diperbarui: 26 Oktober 2023   20:04 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"JAREDDDDD! Kamu ngapain baru pulang, malam-malam begini? "Ujar ibu dengan raut wajah kesal. "Udahlah Bu, aku capek masuk kamar dulu ya, selamat malam ibu," dengan cueknya aku menutup pintu kamarku. 

Aku malas mendengar ocehan terus. Terkadang aku mendongkol dalam hatiku. Tetapi, aku tahu maksud ibu itu baik, cuman aku saja yang kesel mendengarnya. 

Aku tinggal bersama orang tuaku dan aku anak tunggal. Rumahku sederhana saja. Akan tetapi, hari-hari di rumah selalu dihiasi dengan berbagai ocehan dari sang ibu. Ayahku saja diam saat dinasehati oleh ibu, apalagi aku.

Minggu ini kami berencana untuk pergi ke alun-alun kota. Sekarang musim semi. Bunga disana bermekaran. Meski akan menikmati indahnya bunga di sana, ocehan terus berjalan sepanjang perjalanan. 

Sesampainya di sana, ibu tak segan untuk menasehati aku dan ayah. Pengunjung di sana sampai terganggu dengan suara ibuku. "Mbak suaranya tolong dikecilkan, ganggu banget tahu nggak." Ujar salah satu pengunjung. 

"Dih ngatur banget lo jadi orang, udah sana urusin aja hidup lo." Ujar ibuku dengan tegasnya. Pengunjung itu pergi dengan sendirinya. "Emak-emak dilawan, hahaha." Ujar ibu kepadaku. 

Lagi asyiknya menikmati kecantikan bunga, perutku mendadak lapar. 

"Bu lapar, beli jajanan yuk," ujarku pada ibu. 

"Ayah juga ya, titip." Kata ayah. 

"Iya-iya, tunggu aja kalian disini.biar ibu beli sendiri!" Ujar ibu. Spontan ku menjawab, "Okee ibu."

Hari sudah mau sore, tetapi ibu tak kunjung balik. Aku risau kalau terjadi apa-apa pada ibuku. Tiba-tiba, angin kencang datang berbisik di telingaku "MATI". Aku bergumam 'kok ada suara ya, atau perasaanku aja?'

Seketika ibu muncul di hadapanku. Ibu menghampiriku dan ayah, untuk memberikan jajanan. Sambil menyebrang dia berteriak "Maaf ya sudah membuat kalian menunggu lama," dengan senyuman di wajahnya yang begitu ceria. 

Disaat ibu mau menyebrang, tiba-tiba datang mobil yang sangat lajunya dan, "Aaaaaaaaa!" Pekikan suara itu membuatku terdiam. Ya, mobil itu menabrak ibuku. Terdiam, hening, semua orang disana menghampiri ibu.

Ibu meninggal di tempat detik itu juga. Aku tak bisa melakukan apapun dan bahkan aku tak bisa bergerak di saat itu. Menangis mengeluarkan tetesan air mata penyesalan. Aku bergumam 'Apa yang telah aku perbuat.'

Ibuku langsung dikuburkan hari itu. Ayah sibuk mengurusi tamu yang terus berdatangan. Sementara aku menangis sederas-derasnya di kamarku.

'Ini penyesalan terbodoh dalam hidupku,' Gumamku. 

"Jareddddddd!" Ocehan yang setiap hari aku dengar, kini hilang dengan sangar. Teriakkan suara itu tak kunjung timbul dari permukaan. Rinduku pada ocehan itu, sangatlah dalam. Karena ocehan itulah yang selalu menyanyi dalam pikiranku. 

Waktu terus berjalan. Aku tak mampu menghabisi kenangan disaat itu. Meski hari sudah mau malam, suara itu terus membayangi di langit-langit benakku. 

Berlarut dalam kesedihan itu perih rasanya. Ayah membujukku dan berkata "Relakan ibumu, biarkan dia pergi dengan tenang. Ingatlah dia selalu dalam setiap doamu." Aku diam tak berkutik sedikitpun dari ucapan ayah tersebut. 

Karena saking berbekas di kepala ini. Masih tersusun rapi dalam mataku setiap detik dalam kejadian itu. Kepergiannya masih terngiang-ngiang. 

Malam-malam pun tiba. Tapi aku tidur dalam kesuraman dan gelisah. Tak tenang bahkan aku terngiang-ngiang bayangan ibuku. 

Tersentak aku terbangun di pukul 03.00 pagi. Tiba-tiba saja muncul asap di depanku membentuk sesosok wanita muncul dan tersenyum kepadaku. 

Boom, wanita itu muncul dan berkata

"Jared kamu jangan sedih lagi ibu juga ikut sedih karena kamu." Aku syok bukan main. 

Wanita yang muncul itu adalah ibuku. "Ibuuuuuu!" teriakku kepadanya dan memeluknya sambil menangis.

"Sudahlah Jared, ibu tak mau kau terus menangisi ibu."

"Tenanglah, ibu akan selalu berada di sampingmu." 

Asap itu seketika hilang dalam hitungan detik. Aku nangis tak kuasa menahan air mata. Bajuku basah karena tetesan air mata berjatuhan di mukaku.

Aku terbangun dari mimpiku yang sial itu. Malam itu juga aku termenung sendiri. 

Hasratku untuk pergi menemui ibu. Pikiranku kacau. Sepintas kalimat di hatiku muncul 'Ku susul saja ibuku gimana ya, biar aku tak berlarut lagi dalam kesedihan dan segera lenyap di kehidupan yang gila ini.'

Ide gila itu selalu menghantuiku sampai paginya.

Suara ayam sudah berkokok. Berharap pagi itu semua pikiranku tak kusut lagi. Tapi, otak ini berkata lain. 

Aku pun menghampiri ayahku untuk meminta nasehat atas kejadian semalam. "Ayah aku takut kalau nanti terjebak dalam pikiranku sendiri, aku masih belum ikhlas dengan kepergian ibu, aku tak mampu untuk mengelak dalam larutan luka ini ayah". 

Aku menangis di relung ayahku. "Jared, kamu harus bisa menerima semua itu, takdir itu tidak bisa diubah, jangan menangis lagi ya, kamu itu harus kuat." Ucapan ayah membuat diriku membuka celah agar tidak berlarut dalam kesedihan. 

Ucapanku semalam akan aku lenyapkan. Aku tak mau ibu di sana menangis karena anaknya terlalu cepat menyusulnya. Dalam hatiku terucap 'aku takkan berlarut lagi dalam luka nan dalam ini.'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun