Semasa pre-opening di Papandayan Park Plaza Int., nama hotel di tahun sembilan puluhan, saya pernah bertugas sebagai order taker selama beberapa minggu saja. Ini program wajib dirotasi bagi setiap front liner.
Duduk selama 7 jam, menghadap dinding kaca penuh tempelan info penting, internal, lalu memakai perangkat jemala berjam-jam.
Di ruang mungil itu ditempel pula foto menu the best seller, jenis daging-dagingan, spaghetti carbonara, fettuccine.
Kemudian saya harus mampu menerangkan detail dengan suasana hati gembira, suara yang jelas dan tenang kepada tamu.
Ada 2 pantangan selama berada di balik dinding kaca itu:
Pertama, nada suara murung, sedih, pasti ketahuan Bos. Ini yang mesti diwaspadai. Salah menanggapi, ah, bisa kena batunya. Apalagi salah order seperti kasus Tina.
Kedua, mengunyah saat percakapan. Ini pantangan!
Larangan keras itu menunjukkan bahwa kita harus respek terhadap lawan bicara. Jika dilanggar, akan terkena teguran lisan, tulisan hingga resiko ditransfer ke posisi lain dengan alasan tidak cakap.
Sehebat apa pekerjaan order taker itu?
Dulu room service disebut layanan one stop service. Artinya sekali mengontak angka nol (0), semua urusan aman. Food & beverage, engineering, housekeeping, laundry, Front liner akan ditangani oleh seorang order taker.
Langkah ini cukup efektif namun merepotkan. Order taker harus mampu menguasai pengetahuan dari seluruh departemen. Akibatnya bayarannya pun mahal.