Namanya Hilary. Ruang kerjanya di sudut menghadap jalan raya. Jadi kalau suntuk, dia buka tirai lalu ngopi.
Ruang kerjaku berlawanan dengannya. Jadi kami tidak saling mengintip.
Saya baru mengenalnya sejak CEO menyuruhku bergabung kedua kalinya di hospitality management itu.
Seminggu pertama, semua laporanku dibaca Hilary karena ia seniorku di kantor.
Semua kolega mengakui bahwa ia cerdas, pintar. Namun wanita berparas cantik ini bergaya unik, aneh, ganjil, kuno, atau apalah kata sejenis itu.
Hilary gak pernah gaul. Jangankan bergaul, ngobrol saja amat jarang. Padahal pekerjaan baruku ini menuntut banyak diskusi dengannya.
Ah, serba salah. Namun saya mesti mengikuti CEO, menciptakan suasana nyaman dalam bekerja.
Suatu hari saya memuji pakaiannya. Hari itu ia mengenakan jeans hitam dan kemeja merah. Ia terlihat segar. Biasanya selalu dalam lilitan scarf dan gaun panjang.
"You look good, nice shirt," kata-kata pujian meluncur spontan.
"Hm.." ia bergeming. Tiada senyum bahagia. Saya mati gaya, lalu kembali ke ruanganku.