Suatu hari, saat makan siang, sambil bercanda Bu Rina, HR Manager mengingatkanku.
"Bu, jangan ngemil di ruang kerja ya. Kalau ketahuan Mr. Frans, saya kena tegur," ujarnya mewanti-wanti.
Kebiasaan ngemil memang tak bisa lepas, tapi hari itu harus setop. Bu Rina mengingatkan setop kebiasaan ngemil di luar jam rehat. Tentu saja wajib kupatuhi mengingat kelulusanku di perusahaan ini bagai mencari jarum di lumbung padi, banyak pesaing.
Nasib peruntunganlah yang membawaku ke beberapa perusahaan multinasional. Tibalah saya di sebuah hotel yang kuimpikan. Bukan untuk plesiran tapi sebagai hotelier, tim pemasaran.
Dayung sudah di tangan, perahu sudah di air. Semua fasilitas kerja telah lengkap, termasuk laptop dan gawai keperluan bekerja.
Di kantor, ada 4 pimpinan tenaga asing berasal dari negara yang sama. Selebihnya dari berbagai bangsa yang berkantor pusat di Singapore.
Bagai aur dengan tebing, dasarnya saling percaya diantara teman senegri, terjalinlah pertemanan erat. Senang susah bersama. Demikian keseharian para ekspatriat di kantor itu.
Tahun 1990 hingga 2015, bak cendawan tumbuh selepas hujan, masa itu membludaknya tenaga asing di industri perhotelan.
Di hotel pertamaku, didapati seluruh kepala departemen datang dari Inggris, Swedia, Belanda dan Singapore kecuali bagian penjualan asal tanah Priangan.
Setelah 2015, tenaga asing sedikit berkurang. Pebisnis hotel beralih memberikan tampuk pimpinan kepada anak bangsa. Himbauan pemerintah juga menyokong program ini. Memberi kesempatan kepada profesional muda yang tak kalah kualitasnya ketimbang karyawan asing.
Selain himbauan pemerintah, diantaranya alasan kualitas personel, lebih luwes terhadap adat budaya lokal, dan gaji dapat ditekan. Bukan karena tenaga kita lebih murah. Bukan! Saat itu kontrak tenaga kerja asing dibayar setara dengan standar upah di negaranya.
Dipandang dari segi prestise, merekrut ekspatriat melambungkan image perusahaan. Publik memandang manajemen hotel yang keren. Selain itu bayaran tinggi sebagai gula-gula menerbitkan air liur personel negara lain, termasuk Perancis, Australia, New Zealand, Tiongkok, dsb.
Tanggung jawab besar di pundak pimpinan manajerial ini dipandang sepadan dengan bayaran yang wow. Karena itu mereka mendorong karyawan penuh tekanan (pressure) agar tercapainya target perusahaan.
Masalah terbesar yaitu komunikasi
Berkarir di perusahaan multinasional tak luput dari hambatan dan rintangan. Tidak selamanya mulus dan lancar.
Suatu hari Pak Edi, pemilik hotel di Surabaya memanggilku. "Ada apa ya?" dalam hati bertanya-tanya. Tak biasanya ia memanggil.
"Bu, tolong catat permintaan saya ya, sampaikan kepada Mr. Smith. Menu hidangan di restoran, jangan western food melulu!"
"Baik Pak," jawabku sambil siap mencatat.
"Buatlah dalam daftar menu, hidangan yang biasa kita makan sehari-hari. Nasi rawon, nasi pecel, rujak cingur, atau menu lainnya. Yang penting harus enak, dihidangkan menarik, harga jangan terlalu mahal!" begitu permintaannya.
"Saya ingin restoran di hotel ini penuh pengunjung," lanjutnya.
Pak Edi mengeluh telah minta dibuatkan nasi rawon dan makanan khas Surabaya dimasukkan dalam daftar menu tapi belum juga digenapi.
Satu dijentik, sepuluh rebah, seorang yang dikata-katai, saya yang mendengar ikut merasakan.
Usai pertemuan, saya langsung menghadap Mr. Smith. "Ok, let me ask Chef to come," responsnya.
Ia mengingat-ingat permintaan majikannya dahulu. Jari-jari tangannya diketuk-ketukan ke meja. Mr. Smith tak mampu mengingatnya. Pantas saja tidak ditindaklanjuti sampai hitungan berbulan-bulan. Seperti ayam dan itik, kedua belah pihak mempunyai masalah dalam berkomunikasi.
Begitulah dinamika manajerial tenaga asing. Pintar dan cakap saja belum tentu menjadi jaminan. Bagi personel pemula memerlukan waktu untuk memahami detail kultur dan sosial budaya masyarakat setempat.
Apakah hal ini suatu kelemahan? Semestinya tidak, sebab tak seluruh topik, dalam wawasannya. Ya, itulah keterbatasannya. Namun seiring waktu, Mr. Smith dapat mempelajari serta beradaptasi.
Enam kebiasaan positif
Zaman berganti, tahun demi tahun kulalui. Entahlah apa yang dirasakan kolegaku senada dengan pendapatku. Namun ada beberapa kebiasaan yang tertular.
Pertama, setiap menit amat berharga. Kehadiran kita harus selalu siap dengan jawaban what dan why terkait progres di hari itu. Khusus bagi tim sales & marketing, hal ini memicu adrenalin.
Kedua, tidak pernah membahas suatu problem secara berputar-putar. Tidak betah berlama-lama dalam suatu pertemuan. Singkat dan jelas.
Ketiga, setiap argumentasi harus selalu didukung oleh data serta alasan. Jika ada perdebatan, diselesaikan tidak di depan forum.
Keempat, pantang menunda-nunda pekerjaan. Jika dapat dikerjakan segera, kenapa tidak? Berusaha menyelesaikan segala persoalan dengan tuntas.
Kelima, pantang membicarakan privasi seseorang. Kalau ngobrol, seputar kemajuan bisnis kompetitor, perkembangan prestasi seorang kawan, kabar terkini di negrinya.
Keenam, memperhatikan hak dan kewajiban setiap karyawan. Tidak pilih kasih. Jarang ada julukan the golden boy terhadap staf. Semua karyawan berhak sama.
Prinsipnya, yang berprestasi akan diberi penghargaan, yang berhasil, diberi hadiah. Jadi kami berlomba meraih prestasi.
Di perusahaan inilah, kesempatan meraih penghargaan terbuka lebar. Setiap hotelier yang bekerja lebih dari 5 tahun mendapat penghargaan sebuah pin emas berlogo hotel. Bukankah ini suatu kebanggaan tersendiri? Saya masih menyimpan pin emas itu.
Mengenal adat serta kebiasaan mereka saat bekerja bersamanya, menularkan cara kerja efektif terhadap seluruh karyawan. Terutama saling menyemangati. Spirit ini yang menonjol sebagai bagian gaya hidup profesional.
Tiada jalan yang tak berlubang, ada saja kendala Berkarir dimanapun, perilaku terpuji taruhannya, integritas jaminannya. Bekerja dengan kolega dari berbagai kultur antar negara, banyak menularkan hal positif.
Kebiasaan disiplin, teliti, menjadi pola keseharian karyawan di perusahaan multinasional karena itulah tolok ukur seseorang berkecimpung di lingkungan profesional.
Belakangan keinginan mampu berbahasa Perancis pun menggebu pasalnya selalu mendengar itu tak seimbang. Walau belum mahir, setidaknya mampu berinteraksi.
Kisah ini hanya secuil pengalaman di sepanjang perjalanan karirku. Kelihatannya mudah meraih segalanya, tapi di balik layar, perlu daya juang dan tekad kuat mempertahankannya.
Saya pernah dicela tidak serius bekerja karena terlambat masuk kantor gegara pohon tumbang di Jalan Simatupang. Mental baja memang harus dikenakan. Jangan lembek!
Jika benih yang baik, jatuh ke laut menjadi pulau. Sesuatu yang baik, dimanapun tempatnya akan tetap terpuji.
Setelah perpisahan waktu yang lama, suatu ketika, saya jumpa dengan Mr. Smith. Ia mengajak makan siang di hotelnya yang anyar. Seketika kami terbahak saat melihat foto nasi rawon ada di muka daftar menu.
Salam hospitality.
Artikel terkait:
Belajar Bijak Terhadap Mandulnya Fungsi Pimpinan Hotel
Kata Siapa Jualan Produk Hotel Tak Menantang Adrenalin?
Waspadalah! Lingkungan Kerja Toksik Penyebab Krisis Komunikasi Internal
Bacaan: satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H