Setiap pagi rasa mual masih terus menerpa walau telah berkurang. Entah apa yang harus diobati, saya merasa gak nyaman. Seolah Roy, monster menakutkan yang siap menerkam setiap saat. Ulahnya mencengangkan bagi hotelier selevel jabatannya, front office manager.
Dirinya dikucilkan, dijadikan gunjingan. Namun saya tetap bertahan sambil menunggu panggilan wawancara dari hotel lain.
Selama itu pula, tanpa kesan menyelidik saya menguping omongan GM dan menyaksikan hampir semua kolega pernah berselisih dengan Roy.
Gayanya menjawab di WAG, membalas e-mail, saat sales meeting, sikapnya yang arogan, sok pintar itu seakan bentuk penjajahan bagi kolega. Jauh dari sikap rendah hati seperti yang kerap didengungkan industri hospitality.
Lambat laun manajemen menyadari, Roy biang kerok segala permasalahan di kantor.
Problem kerap muncul karena kekerasan hatinya dan acapkali merasa benar sendiri. Hal ini menimbulkan gesekan di antara departemen yang suatu waktu pasti meledak.
Benar saja, tibalah waktunya. Saya menyampaikan uneg-uneg langsung kepada GM, bagaimana kelanjutan tim ini ke depan.
Dalam suatu percakapan, terbaca isyarat, tampaknya takkan terjadi perubahan selama ia bercokol. Hubungan Roy dengan pemilik hotel amat erat. Nah lho.
Ia seakan detektif di dalam manajemen. Apa yang harus kuperbuat untuk meredakan rasa mualku yang berkepanjangan.
Seorang yang toksik, 10 hotelier yang resign
Kondisi yang melelahkan. Kami saling diam, cari aman, enggan bertegur sapa. Satu per satu, eksekutif housekeeper resign, disusul financial controller, lalu GM. Lalu saya?
Ikan di kolam dilempar remah roti, tak berapa lama, sebelum mengajukan surat undur diri, seseorang meneleponku.
Rezeki nomplok muncul tak terduga. Tanpa berpikir lama, saya pamit. Apa lagi yang mesti dipertahankan?