Betul juga, minggu depannya. setiap pagi selalu ada sarapan. Menu sarapan berganti-ganti tapi sang kordinator Lisa, sering menyajikan mi goreng. Seminggu pasti 2 kali suguhan mi goreng.
Mi dipesan dari sebuah restoran. Lisa sudah memiliki nomor telpon tante pemilik kedai kecil. Dibungkus daun pisang lalu dilapisi kertas. Jika sibuk, makan bisa agak siangan. Semua suka mi, takada yang absen.
Jadi sistem urunan, ternyata asyik, bisa makan bareng, dijamin sarapan tidak terlantar.
Sepupu saya kalau masak mi, rawit selalu membuat ramai warna mi kuah. Aroma super pedas menyengat. Mi dicampur telur, wortel dan broccoli.
Menurut Ibunda, sejarah mi dicampur wortel dan broccoli. awalnya Ayu, sepupu saya itu, tidak menyukai wortel dan sayuran.
Menyiasatinya dengan mencampurkan sayuran dalam mi. Kebiasaan itu dilakukan sejak remaja hingga kini. Disamping membangkitkan selera makan juga sebagai pencahar perut, katanya.
Saat pengeledahan tas ketika boarding, petugas mendapati 1 mi instan di tas. Ia perhatikan dan mencium-cium mi instan itu. Dibolak-balik. "May I open it?" tanyanya.
Ya, saya memang selalu menyimpan mi instan dalam tas. Bukan karena fanatik atau makanan favorit, engga juga. Tersebab saya pernah diselamatkan dari rasa lapar yang teramat lapar karena membawa barang ini.
Beruntung, sekeluarga suka mi, meski jarang sekali dihidangkan. Sesekali saja makan mi kuah bersama sayuran hijau yang porsinya melebihi mi.
Makan mie sesekali saja. Di perut ia cukup lama dicerna, apalagi ramen. Demikian kita menjaga kesehatan agar tak berlebihan. Mi yang dikonsumsi sewajarnya tidak membuat gemuk, namun segala sesuatu berlebihan, tidaklah elok.