Diaryku,
Saya berdiam diri di sudut kursi itu, seorang diri menanti kereta api dari Jakarta tiba di Stasiun Bandung.
Kuong....gejlek,,,gejlek..!Suara mesin berat kereta.
Suaranya berbeda dari lagu anak-anak "Naik Kereta Api" karya Ibu Soed atau Ibu Saridjah Niung.
"Naik kereta api, tut tut tut.....
Siapa hendak turut?
Ke Bandung ..Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma...."
Suasana di Stasiun Gambir masih terbayang di ingatan meski telah 34 tahun silam. Kala itu saya kerap ke Jakarta dari Bandung, bermain bersama kawan ke Ancol, mengunjungi kakak dan kerabat di Jakarta.
Suasana Ancol masih lengang. Dahulu hanya sebatas duduk di pantai, jajan, hanya bersenang-senang saja.
Hari itu saya mendapat panggilan wawancara di salah satu hotel berbintang 5 di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Tekad sudah bulat ingin menimba pengalaman bekerja di Jakarta. Ketika itu baru memasuki masa studi di perguruan tinggi. Panggilan ini menjawab lamaran pekerjaan saya yang semula hanya iseng saja.
Tiba di Stasiun Bandung, lalu duduk manis menunggu kereta dari Jakarta. Stasiun Bandung cukup bersih, besar dan banyak penumpangnya tiap-tiap jam.
Seperti biasa, saya senang duduk dekat jendela. Memandang pematang sawah terbentang hijau, kebun nan luas. Beberapa terowonganpun dilewati.
Saya bahagia dalam perjalanan, menengok ke jendela besar dari kereta. Beberapa penumpang memesan nasi goreng, mie goreng, minum teh, minum kopi. Namun saya tidak terbiasa membeli makanan atau minuman di kereta agar menghindari buang air kecil.
Hari itu, tetiba saya harus mendekatinya Wah, terpaksalah pergi ke kamar kecil yang benar-benar kecil itu. Bergoyang-goyang, hingga tak nyaman. Itulah alasan saya menghindari kamar kecil di kereta api.
Usai sudah, saya kembali duduk manis. Kereta tidak pernah padat hingga penumpang berdiri. Tibalah petugas memeriksa tiket semua penumpang.
Kebetulan disebelah tempat duduk saya kosong, saya letakkan tas berisi buku di situ. Sedang asyik menikmati pemandangan alam nan indah, tetiba seekor bayi kecoa jalan menuju tas.
Aku spontan menjerit dan semua orang melihat kearahku. Pak kondektur bertanya kenapa saya menjerit. Syukurlah kecoa masih di tempatnya, jika tidak, disangkanya hanya halusinasi.
Lalu sang kondektur mengusir kecoa itu. Sayapun kembali tenang, namun kini diliputi rasa was-was, curiga, jangan-jangan teman-temannya berdatangan.
Tepat dugaanku, setelah beberapa menit, 3 kecoa keluar dari balik kursi yang saya tempati. Langsung saya pindah kursi ke tempat yang lebih jauh. Ketika itu, tidak masalah sistem berpindah kursi asalkan pengecekan tiket telah dilakukan kondektur.
Pak kondektur memandang saya dari jauh. Jika saja peristiwa itu terjadi di jaman sekarang, pasti saya foto bayi kecoa itu sebagai bukti keluhan.
Tibalah saya di Stasiun Gambir yang cukup bersih dan luas. Suara bel, ting nong ting nong...! masih terdengar di telinga. Seperti baru minggu lalu saja terjadi.
Setelah selesai urusan di Jakarta, saya kembali ke Bandung. Di perjalanan asyik membaca buku, majalah atau koran.
Hari itu pagi langit nan cerah namun tak secerah hatiku karena teringat bayi kecoa di tempat dudukku beberapa hari lalu.
Dengan rasa curiga, sayapun duduk, berusaha menenangkan diri.
Mungkin benar apa kata pepatah yang pernah kubaca di buku bahwa apa yang kita bayangkan akan menjadi kenyataan.
Sosok bayi kecoa dalam perjalanan 3 hari lalu, membuat saya benar-benar tersiksa. Hatiku tak setenang sebelum mengenal si bayi kecoa itu. Rasanya ingin segera tiba di Bandung.
Tertidurlah saya beberapa menit. Tak lama kemudian ada sesuatu yang bergerak di sepatu saya dengan antenanya, dia ibu dari bayi kecoa!
Kali ini dengan tenang, saya langsung pindah kursi. Tiada teriakan, biarlah saya saja yang tahu. Seandainya saja cecak yang berjalan, saya akan berdamai.
Sejak saat itu, saya belum merasakan senangnya berkereta api kembali. Bukan karena peristiwa waktu silam, bukan! Namun karena belum ada kesempatan untuk naik kereta api.
Barangkali kereta api kini jauh lebih bersih dan rapih. Buktinya saya lihat dalam instragram Kereta Api Indonesia (KAI) yang kreatif dan informatif di @keretaapikita. Saya menjadi followernya setelah lomba melukis di blogcom (Event CLick) Kompasiana. Ini dia hasil lukisanku.
Tulisan ini hanya sekedar pengalaman di waktu silam, tentu saja berbeda keadaannya setelah 3 dekade.
Saya yakin kereta api kita jauh lebih bersih oleh karena semua penumpang akan menjadi reporter secara tidak langsung karena ia adalah kereta api kita.
Diaryku, sampai sini dulu ya.
Sampai jumpa dan selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H