Tahun 2019, di Kampung Rawa, Jakarta pusat kedapatan seorang pemilik bangunan membangun sleep box ukuran 2 x 1 dengan tinggi 90 cm. Membayangkan ukurannya saja, sama dengan peti mati.
Ide ini muncul dari pemilik rumah setelah hotel kapsul berdiri di Jepang. Namun Wakil Walikota Jakpus, saat itu Pak Irwandi melakukan inspeksi mendadak dan dinyatakan tidak manusiawi.
Rumah itu terdiri dari tingkat 3 penuh dengan kamar box. Dengan hanya membayar Rp 300 hingga 400 ribu per bulan, penyewa dapat menetap disitu.
Meskipun dinyatakan tidak layak dihuni tapi peminat tumpah ruah. Tempat kos inipun diakhiri dengan penyegelan. Nah lho, bisnis yang kebablasan. Maksud berbisnis namun tidak manusiawi. Info di media dapat dilihat pada berita di sini .
Hotel kapsul memang ngetren disaat melambungnya okupansi hotel jika dibangun di tengah lahan yang minim, wilayah sibuk dan pengunjung yang ingin serba cepat.
Sejauh ini kawasan bandara cocok didirikannya hotel kapsul sebagai transit atau short term.
Kamar jenis sleep box marak sejak 3 tahun terakhir di Indonesia. Setelah hotel kapsul di Bandara Soeta munculah hotel-hotel kapsul di Bali, Makasar. Di Jakarta selain Bandara Soeta juga terdapat di area pusat kota.
Seorang kawan hotelier yang pernah menginap ditempat ini merasakan sesuatu yang ganjil saat pertama kali menikmati kamar super kecil ini. Saya sendiri sempat melakukan inspeksi hanya untuk mengenal lebih jauh tipe bisnis tersebut.
Sebagai tamu hotel kapsul, saya hanya dapat membayangkan ketika (maaf) buang anginpun akan terdengar penghuni sebelah. Jika tidur ngorok pasti terdengar. Mau ke kamar mandi harus tampil layak..
Bagi pelancong backpacker memang menjadi pilihan utama atau sekedar mendapatkan pengalaman. Yang penting senang toh.
Tengoklah terlebih dahulu peruntukkan jenis bisnis ini. Jangan hanya melihat cuan, tapi tidak manusiawi.