Semasa kedua anakku masih bayi, ibulah yang mengawasi hingga kanak-kanak, selain Tika, yang telah bersama kami sejak saya kecil.
Ketika anakku memasuki taman kanak, keadaan rumah menjadi sunyi. Hanya ibu dan Tika. Itupun jika Tika takpulang kampung menengok keluarganya.
Setiap akhir pekan, kami sekeluarga rutin bertemu ibu setelah ditinggal ayah. Ibunda berdarah Jepang ini tampak bahagia, ketika kami sekeluarga sesekali menginap di rumah.
Kupandangi semua benda peninggalan di sekeliling rumah, dalam ingatanku kini menjadi suatu kenangan indah. Tersenyum sekaligus mengoyak kerinduan.
Beberapa bulan berselang, kakakku kuatir dengan keadaan ibu, apalagi Tika yang hampir setiap minggu pulang kampung.
Setelah melalui perundingan yang cermat, kakakku memutuskan untuk membawa ibu ke Villa Bilabong. Tujuannya agar ibu ditemani banyak kawan sebayanya disana. Seorang suster akan menemani.
Villa ini dikelilingi pemandangan hijau nan indah, diperuntukan bagi lanjut usia agar tenang beribadah.
Tika terpaksa dirumahkan. Kesedihan ibu tampak di raut wajahnya ketika berpisah dengan Tika.
Acara rutin di Villa yaitu saat teduh, berolahraga, karaoke lagu-lagu rohani, diselingi ceramah keagamaan, khotbah dari Pastor, Suster.
Setiap akhir pekan kami berkunjung. Acapkali kami hendak pulang, ibu selalu ingin ikut. Kami sedih merasakan hati ibu ditinggal sendirian, sementara jauh dari kami.
Minggu berikutnya, di hari ke 14, saya menemukan buku catatan Ibu. Saya baca perlahan, kata demi kata.