Lelaki terakhir dalam site itu, demikian halnya, serupa tapi tak sama. Jika kuceritakan akan panjang. Yang jelas pencarian jodoh secara online harus diikuti kewaspadaan. Mencari jodoh harus sabar. Kadang kita tak mengerti jalannya.
Waktu berlalu, karena sibuk bekerja, takada waktu bersosialisasi. Ketika itu media sosial belum segencar masa sekarang. Namun buatlah pribadi yang selalu aktif.
Aktif dalam komunitas, di tempat bekerja, di Airport menuju perjalanan bisnis, termasuk komunitas Kompasianer dapat juga sebagai media pencarian.
Hindari LDR jika mungkin. Terlebih awal berkencan. Perilaku, sikap asli manusia itu diketahui tidak secara instan. Kadang 2 tahun baru tercium sengitnya. Ubahlah perilaku buruk kita sendiri. Dan jangan lupa berikhtiar, berdoa agar dikirimkan pasangan hidup sejati.
Mendapatkan pasangan hidup bukanlah satu-satunya jalan agar hidup bahagia di bumi ini. Bukan jaminan kebahagiaan. Banyak orang oleh karena alasan tertentu tidak menginginkannya.
Menjadi jomlo memang suatu pilihan. Tak perlu risau dengan status jomlo. Nikmati saja keseharian dengan melakukan hal-hal baik. Bekerja dengan baik, berpengetahuan luas, mengurus adik, berbakti kepada orang tua, atau mencurahkan seluruh tenaga dan waktu hanya bagi Sang Pencipta.
Seperti keponakan di Yogyakarta, ia memilih bekerja dan mengurus orangtuanya. Acara lamaran setelah lulus kuliah sempat digagalkan. Kini ia bahagia dengan keberadaannya. Bahkan adik satu-satunya telah menikah setahun lalu.
Dua tahun berselang setelah kencan online, baru kumengerti. Wahai adikku, jodoh tak perlu dicari!
Pertemuan dengan seorang tamu bule di hotel tempatku bekerja, menjadikannya seorang suami bagiku dan ayah bagi ke-2 putra-putriku.
Perkawinan campur kadang terangkai menjadi guratan. Para leluhur yang melakukan perkawinan antar bangsa, setidaknya menurunkan jalan guratan serupa pada keturunannya.
Bisikan kawan, sang peramal itu, ada benarnya juga. Namun Tuhan penentu pasti langkah hidup. Spes mea in Deo.