Tidak hanya itu, ketika mesin RDF digunakan dalam waktu yang lama, dapat terjadi overheat. Perawatan secara berkala seperti penambahan oli juga menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kinerja mesin.Â
Setiap TPST biasanya dilengkapi dengan lebih dari 1 set mesin RDF untuk cadangan ketika terjadi kerusakan pada salah satu mesin karena waktu perbaikan mesin membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
3. Sumber daya manusia yang terbatas
Pengoperasian mesin RDF membutuhkan sumber daya manusia dengan jumlah yang disesuaikan dengan alat-alat yang ada. Misalnya, TPST yang menggunakan pemilahan manual akan membutuhkan SDM yang lebih banyak dibandingkan TPST yang sudah menggunakan mesin gibrig (mesin pemilah sampah anorganik dan organik).Â
Selain itu, jam operasional dan jumlah sampah yang harus diolah juga harus disesuaikan. Dibutuhkan juga sumber daya manusia yang cukup untuk transportasi bahan baku RDF dan produk akhir RDF ke off-taker. SDM yang terlalu sedikit akan menyebabkan efisiensi pengolahan menjadi terhambat.
4. Kontinuitas produk yang tidak terjamin
Produk RDF yang dihasilkan dari TPST di wilayah Cekungan Bandung biasanya akan dikirim ke pabrik tekstil sebagai bahan co-firing batubara. Masalah yang sering dihadapi adalah jumlah hasil produksi RDF per harinya yang kurang menentu karena seringkali terjadi kerusakan mesin. Sedangkan, industri atau off-taker memerlukan stok dengan jumlah yang sama setiap harinya. Jika TPST tidak dapat memenuhi permintaan atau kebutuhan off-taker, besar kemungkinan kerjasama antara kedua belah pihak tidak dapat dilanjutkan.
5. Sulitnya mengumpulkan Retribusi yang layak
Operasional mesin RDF memakan biaya sekitar 250 ribu rupiah per ton nya, belum termasuk biaya perawatan dan perbaikan. Biaya ini tergolong cukup mahal dibandingkan teknologi-teknologi pengolahan sampah lainnya seperti daur ulang, komposting, atau penggunaan BSF.Â