Mohon tunggu...
Badan Cekungan Bandung
Badan Cekungan Bandung Mohon Tunggu... Sekretaris - mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan berkelas dunia

Badan Koordinasi 5 wilayah kota kabupaten di Cekungan Bandung di bawah komando Pemerintah Provinsi Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Tantangan di Balik Pemanfaatan Teknologi RDF pada TPST Bandung Raya

2 September 2024   11:30 Diperbarui: 2 September 2024   11:46 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timbunan Sampah padaa Salah Satu TPST di Bandung Raya/Dok Pribadi

Wilayah Bandung Raya dinyatakan darurat sampah pada bulan Agustus 2023 lalu pasca kebakaran TPA Sarimukti. Kejadian ini menyadarkan berbagai pihak atas masalah persampahan yang sedang terjadi. Beberapa teknologi seperti pengolahan sampah menjadi RDF diharapkan menjadi solusi atas masalah persampahan di wilayah Cekungan Bandung. 

Beberapa TPST di wilayah Cekungan Bandung direncanakan dapat mengolah sampah sebanyak 10 sampai 20 ton per hari. Namun, secara realita, sejauh ini kapasitas maksimum teknologi RDF dari beberapa TPST belum bisa terpenuhi. Bahkan, ditemukan juga TPST yang sudah berhenti mengolah sampah menggunakan teknologi RDF meskipun sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Lalu, apa saja yang sebenarnya menjadi tantangan untuk memaksimalkan pengolahan sampah menjadi RDF?

1. Pemilahan sampah yang masih minim

Mesin Pemilah Sampah Organik dan Anorganik (Gibrig)/Dok Pribadi
Mesin Pemilah Sampah Organik dan Anorganik (Gibrig)/Dok Pribadi
Sampah yang tidak terpilah menjadi tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah. Dalam teknologi RDF, sampah yang dimasukkan harus merupakan sampah anorganik atau sampah organik yang sudah dikeringkan seperti daun-daun kering dengan tujuan meningkatkan kualitas produk RDF. Semakin rendah kadar air pada sampah, maka akan semakin tinggi nilai kalornya berbanding lurus dengan kualitas RDF.

Selain itu, sampah berbahan inert juga tidak boleh masuk ke dalam mesin RDF karena dapat menyebabkan kerusakan mesin seperti tumpulnya alat pemotong. Banyaknya sampah yang masih tercampur membuat efisiensi pengolahan sampah akan sangat berkurang.

Fasilitas Pengolahan Sampah dengan BSF/Dok Pribadi
Fasilitas Pengolahan Sampah dengan BSF/Dok Pribadi

Tidak hanya berpengaruh pada RDF, pemilahan sampah yang tidak dilakukan akan mempengaruhi proses pengolahan sampah lainnya. Pada salah satu TPST di wilayah Cekungan Bandung, ditemukan fasilitas pengolahan sampah dengan BSF yang akhirnya tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal lagi. 

Lambatnya proses pengolahan karena harus dilakukan pemilahan pada TPST menyebabkan sampah menumpuk. Tumpukan sampah ini yang akhirnya membuat sampah-sampah organik membusuk dan semakin sulit untuk dipisahkan dari sampah anorganik.

2. Perawatan dan perbaikan alat yang tergolong sulit

Mesin RDF yang Sudah Tidak Beroperasi/Dok Pribadi
Mesin RDF yang Sudah Tidak Beroperasi/Dok Pribadi

Mesin RDF pada dasarnya terdiri atas belt conveyor, mesin pengering, dan mesin pemotong. Bagian yang paling rentan mengalami kerusakan adalah mesin pemotong. Hal ini disebabkan oleh bahan-bahan inert atau tanah yang masuk ke dalam mesin dan menyebabkan pisau pemotong menjadi tumpul. 

Tidak hanya itu, ketika mesin RDF digunakan dalam waktu yang lama, dapat terjadi overheat. Perawatan secara berkala seperti penambahan oli juga menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kinerja mesin. 

Setiap TPST biasanya dilengkapi dengan lebih dari 1 set mesin RDF untuk cadangan ketika terjadi kerusakan pada salah satu mesin karena waktu perbaikan mesin membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

3. Sumber daya manusia yang terbatas

Transportasi Produk Akhir RDF/Dok Pribadi
Transportasi Produk Akhir RDF/Dok Pribadi

Pengoperasian mesin RDF membutuhkan sumber daya manusia dengan jumlah yang disesuaikan dengan alat-alat yang ada. Misalnya, TPST yang menggunakan pemilahan manual akan membutuhkan SDM yang lebih banyak dibandingkan TPST yang sudah menggunakan mesin gibrig (mesin pemilah sampah anorganik dan organik). 

Selain itu, jam operasional dan jumlah sampah yang harus diolah juga harus disesuaikan. Dibutuhkan juga sumber daya manusia yang cukup untuk transportasi bahan baku RDF dan produk akhir RDF ke off-taker. SDM yang terlalu sedikit akan menyebabkan efisiensi pengolahan menjadi terhambat.

4. Kontinuitas produk yang tidak terjamin

Produk Akhir RDF/Dok Pribadi
Produk Akhir RDF/Dok Pribadi

Produk RDF yang dihasilkan dari TPST di wilayah Cekungan Bandung biasanya akan dikirim ke pabrik tekstil sebagai bahan co-firing batubara. Masalah yang sering dihadapi adalah jumlah hasil produksi RDF per harinya yang kurang menentu karena seringkali terjadi kerusakan mesin. Sedangkan, industri atau off-taker memerlukan stok dengan jumlah yang sama setiap harinya. Jika TPST tidak dapat memenuhi permintaan atau kebutuhan off-taker, besar kemungkinan kerjasama antara kedua belah pihak tidak dapat dilanjutkan.

5. Sulitnya mengumpulkan Retribusi yang layak

Operasional mesin RDF memakan biaya sekitar 250 ribu rupiah per ton nya, belum termasuk biaya perawatan dan perbaikan. Biaya ini tergolong cukup mahal dibandingkan teknologi-teknologi pengolahan sampah lainnya seperti daur ulang, komposting, atau penggunaan BSF. 

Berdasarkan Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 45 Tahun 2022, besaran tarif yang wajib dibayarkan oleh masing-masing rumah berkisar antara 3 ribu rupiah hingga 20 ribu rupiah per bulan. 

Perbedaan tarif ditentukan berdasarkan daya listrik. Jika dihitung lebih dalam lagi, biaya yang dibayarkan oleh masing-masing rumah tidak cukup untuk menutup biaya operasional sehingga dibutuhkan dana bantuan dari pemerintah atau penjualan hasil produk RDF dengan harga yang cocok.

6. Daya serap pasar terhadap RDF

Sejauh ini, hasil produk RDF dapat dimanfaatkan oleh industri semen, industri tekstil, dan PLTU. Namun, perlu diingat bahwa RDF hanya berperan sebagai bahan co-firing, bukan bahan pengganti sepenuhnya. Potensi RDF sebagai bahan co-firing juga masih jarang diketahui oleh industri-industri yang ada. 

Di sisi lain, setiap industri memiliki persyaratan minimum untuk kualitas RDF yang boleh digunakan, sedangkan komposisi sampah yang diproduksi oleh masyarakat cenderung berubah-ubah dan mempengaruhi kualitasnya. Ditambah lagi, posisi TPST yang jauh dari kawasan industri akan mempengaruhi biaya transportasi RDF. Hal-hal ini mempengaruhi pertimbangan industri untuk menggunakan RDF sebagai bahan co-firing.

7. Penolakan dari pegiat lingkungan

Munculnya RDF sebagai solusi pengolahan sampah mendapat penolakan dari pegiat lingkungan. Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Meiki W. Paendong, teknologi ini dapat menurunkan semangat pengurangan sampah yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, teknologi ini dinilai tidak mendukung ekonomi sirkuler. Sampah yang ada pada akhirnya akan menghilang terbakar begitu saja, tidak berputar kembali seperti program daur ulang.

Tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan peran serta dan kerjasama antar seluruh lapisan masyarakat maupun pemerintahan. Masyarakat dapat membantu menghadapi tantangan ini dengan menerapkan KANGPISMAN (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan). Dengan adanya teknologi RDF, bukan berarti kita dapat menyerahkan sampah sebanyak-banyaknya ke TPST. Teknologi RDF hanya berperan sebagai alternatif pengolahan sampah seiring tumbuhnya kebiasaan mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang pada masyarakat untuk mengatasi masalah persampahan. Langkah-langkah penerapan KANGPISMAN dapat dilihat pada gambar berikut.

Gerakan KANGPISMAN/Dok Pribadi
Gerakan KANGPISMAN/Dok Pribadi

Di sisi lain, perlu diadakan pengawasan dan pendampingan dalam proses operasional setiap TPST. Penambahan sumber daya manusia juga akan meningkatkan efektivitas pengolahan sampah menjadi RDF. Harapannya, sampah-sampah yang sudah ada di TPST atau TPA dapat dikurangi dengan metode RDF supaya tidak timbul bahaya lanjutan seperti kebakaran akibat gas metana atau longsornya landfill yang memakan korban jiwa.

Pemimpin redaksi : Adha Nur Kholif Pratama S.Si., M.T.

Artikel Oleh : Franz Nevinne Nethania

(Mahasiswa Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung angkatan 2021)

Editor in chief : Bambang Prasetyo S. Ak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun