Beberapa waktu belakangan, dunia maya sempat digemparkan dengan tersebarnya video yang diduga salah satu selebriti muda tanah air. Video hubungan intim yang diamsusikan disebarkan tanpa izin dari artis perempuan tersebut menuai berbagai reaksi dari pengguna internet.Â
Oleh karena penyebaran yang dilakukan tanpa konsen tersebut, banyak yang menyebut kasus ini sebagai kasus Revenge Porn. Alhasil istilah Revenge Porn sempat trending di berbagai sosal media, sebut saja Twitter dan Instagram.
Bukan Revenge Porn, tapi Non-Consensual Intimate Images Violence!
Istilah Revenge Porn sendiri telah dinilai 'problematik' oleh sejumlah pihak, pasalnya istilah ini memiliki tendensi untuk menyalahkan korban atas nasib buruk yang menimpanya (victim blaming).Â
Kata revenge mengindikasikan bahwa kekerasan terjadi karena korban berbuat salah terlebih dahulu, sementara pelaku hanya 'membalas dendam' atas kesalahan korban tersebut.Â
Sementara kata porn atau pornografi mengacu pada industri hiburan, padahal konten intim pada kasus ini biasanya tidak ditujukan untuk hiburan khalayak ramai, namun atas dasar intimasi sebagai pasangan.Â
Oleh karenanya, akan lebih tepat untuk mengganti istilah Revenge Porn dengan 'Non-Consensual Intimate Images Violence ' atau 'Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual.'
Mengenal Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII)Â
Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII) merupakan salah satu kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang mana pelaku memanfaatkan kontem intim/ seksual (foto dan/ atau video) yang memperlihatkan korban, dengan tujuan mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauan pelaku.Â
Penggunaan istilah yang lebih berperspektif korban dapat menjadi langkah awal untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kasus serta menumbuhkan empati terhadap korban.
Korban dari NCII bisa saja mengalami bentuk kekerasan yang bermacam-macam, tidak hanya terbatas pada penyebaran konten melalui media digital seperti sosial media, korban bisa saja menerima ancaman penyebaran konten intim non-konsensual untuk memaksa atau mengintimidasi korban melakukan hal-hal yang tidak diinginkan korban.Â
Bentuk lain dari NCII adalah produksi konten intim yang dilakukan secara non-konsensual. seperti seperti merekam korban secara diam-diam, dengan paksaan, ataupun dengan memanfaatkan teknologi artifisial intelejen seperti deepfake.Â
Bentuk NCII yang tidak kalah keji lainnya adalah pencurian konten intim, misal konten intim milik korban diduplikasi diam-diam, atau diambil setelah meretas akun digital milik korban.
Reviktimisasi Korban Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII)Â
Anonimitas dari dunia maya menjadi hal yang menguntungkan pelaku dan merugikan korban, anonimitas tersebut meingkatkan rasa malu dan keterpurukan korban, namun justru melindungi identitas pelaku dan memberikannya validitas sosial.Â
Korban yang kontennya tersebar luas di internet mendapat berbagai konsekuensi dari publik diantaranya seperti dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerja, diusir dari rumah oleh keluarga, diboikot untuk tampil di media massa (cancel culture), stigma buruk dari orang-orang di sekitar dan di dunia maya, serta berbagai bentuk victim blaming lainnya.Â
Hal ini tentu menambah berat beban mental dan fisik yang dirasakan korban atas kasus kekerasan verbal atau seksual yang dialami dan trauma psikologi yang harus ditanggung seumur hidup.Â
Melihat respon warganet ketika kasus RK muncul, secara sosial dan kultural kita (masyarakat Indonesia) masih banyak yang menilai korban sebagai pihak yang bersalah, karena terlibat dalam aktivitas seksual. Umumnya, masyarakat tidak menyadari bahwa prasangka buruk ini dapat menyebabkan Reviktimisasi Korban. Reviktimisasi adalah kondisi ketika korban menjadi korban kembali.Â
Contoh reviktimisasi korban diantaranya seperti pemberian stigma buruk, diskriminasi, korban diminta menceritakan kembali berulang-ulang atas kasus, maupun memberi pertanyaan atau penyataan yang merendahkan dan menyalahkan korban atas kemalangan yang menimpanya.Â
Oleh karena reviktimisasi tersebut, korban dari NCII umumnya ragu untuk meminta bantuan atau bahkan sekadar mengetahui terdapat bantuan legal dan tidak legal yang tersedia untuk mereka.Â
Diskursus seputar NCII yang umumnya berkutat pada sisi keimanan dan moralitas juga tidak membantu korban, melainkan membuat korban semakin takut untuk maju ke ranah hukum.
Yang Bisa Dilakukan untuk Membantu Korban
Hal yang dapat kamu lakukan jika mengetahui seseorang baik dalam lingkup terdekatmu atau tidak mengalami NCII :Â
Jangan kepo/ ingin tahu, jangan mencari dan melihat kontennya, apalagi ikut menyebarkan.
Pahami dan coba melihat dari perspektif korban, jangan menyalahkan apalagi menghakimi korban, karena bukannya membantu justru semakin memperparah trauma psikologis yang tengah diderita korban.
Dukung korban dengan ikut mencari bantuan, kamu bisa menyarankan bantuan psikologis atau lembaga penyedia layanan dan bantuan hukum kepada korban, seperti Komnas Perempuan, LBH Apik, Awas KBGO SAFEnet dan masih banyak lagi.
Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII) merupakan kasus kekerasan nyata yang banyak terjadi di sekitar kita, telah banyak korban yang hidupnya runtuh dan mengalami kerugian fisik serta mental yang dampaknya jangka panjang bahkan seumur hidup. Kasus ini juga dapat terjadi pada siapa saja, tidak terbatas pada kalangan selebrita namun, juga bisa pula dialami oleh orang terdekat kamu. Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk selalu berada di sisi korban dan memperjuangkan keadilan untuk mereka.
*Artikel ini ditulis oleh Cecylia Putri R, salah satu mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Sumber Rujukan :
Aceng, S. (2019, August 2). "Revenge porn": The understanding and impact of non-consensual intimate images (NCII) violence - Impakter. Impakter Limited. https://impakter.com/revenge-porn-the-understanding-and-impact-of-non-consensual-intimate-images-ncii-violence/
Katahukum. (n.d.). Kata Hukum. Retrieved June 4, 2023, from https://katahukum.org/search?keywords=reviktimisasi
Kusuma, E., & Veda, J. A. (2020). Aku harus Bagaimana? Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual. Awas KBGO SAFEnet.
M, N. A. (2021). Reviktimisasi terhadap Korban Pemerkosaan Anak di Bawah Umur (Studi Kasus Korban x di Kec. Gunung Sahilan) [Skripsi]. Universitas Islam Riau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H