Mohon tunggu...
Cecilia Gandes
Cecilia Gandes Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hanya ingin meninggalkan jejak (pemikiran) di belahan dunia (maya) yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

What a Tweet!

3 September 2012   09:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ketidaktahuan (kerap) berujung pada kesoktahuan


Kalimat di atas saya ketik dengan kesadaran penuh, meskipun mampu menampar diri sendiri berkali-kali. Ya, kalimat ini sifatnya reflektif, tak ada maksud untuk menyindir pihak lain.

Setiap orang suka sekali menilai orang lain. Meskipun bukan seorang guru atau pun dosen, sebagian (besar) orang gemar memberikan penilaian (sendiri).

“Lagian, orangnya cari perhatian banget. Semua-semuanya diceritain di Twitter,” saya pernah berpikiran seperti ini; menilai menurut apa yang saya ketahui.


Untungnya, seorang teman mengingatkan, “Sabar, mba… Barangkali, itu semua karena dia anak tunggal, kurang mendapat perhatian dari orangtua. Akhirnya, dia ‘cari perhatian’ sama orang lain.” Inilah sisi lain yang tidak belum saya pahami.

Semua orang bisa saja tahu apa yang kita tuliskan di Twitter, tapi tidak semua orang (mampu) memahami mengapa kita menuliskannya.

Inilah tamparan lain yang saya tuliskan untuk diri sendiri. Ya, bunyinya tweet banyak yang tahu, tapi dalamnya hati waktu nge-tweet siapa yang tahu? Saya benar-benar menyadari akan hal ini. Saya pun pernah menjadi penyimak yang menelan mentah-mentah apa yang di-tweet-kan orang lain. Saya pun pernah menjadi korban spekulasi persepsi orang lain hanya karena bunyi tweet ambigu. Tuhan memang pemberi karma yang bijak. :)

Pertarungan makna

Siapa yang bisa mengelak kalau Twitter adalah lumbung segala hal yang multitafsir? Bahkan, hal ini pun menjadi topik yang menarik dan bisa dibahas dalam tulisan ilmiah.

Dilansir dari Harian Kompas (19/7/2012), media sosial jenis microblogging, seperti Twitter, menjadi institusi atau arena pertarungan pemaknaan dan praktik reproduksi wacana tentang pluralisme.

Kaitannya akan hal itu, Puspitasari, dosen Stikom The London School of Public Relations membuat disertasi dengan judul ”Kontestasi Pemaknaan Teks Pluralisme dalam Media Sosial”. Menurutnya, dalam media sosial terjadi pertarungan makna. ”Masing-masing pihak dalam posisi mendominasi pihak lain,” ujarnya. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Ade Armando, yang menjadi penyanggah disertasi itu, mengemukakan, media mainstream tidak bisa diharapkan karena terlalu banyak kepentingan yang menentukan arah kebijakannya.

“Terlalu banyak kepentingan yang menentukan arah kebijakannya”. Kalimat dari Ade Armando ini cukup menarik bagi saya. Ya, akun personal pun memiliki banyak kepentingan. Tak perlu muluk memaknai kata “kepentingan” di sini.

Mencoba memberi contoh, saya sering menulis sajak. Posisi saya yang bukan seorang penyair atau pun dikenal sebagai pujangga, membuat orang lain berpikir bahwa saya sedang galau. Padahal, “kepentingan” saya adalah ingin mengasah kemampuan saya dalam bermain kata-kata.

Ini contoh lain lagi. Sedih rasanya ketika ada orang lain (anggap saja A) memberi makna (salah) kepada bunyi tweet dari kerabat yang saya kenal (anggap saja B). Maaf, nama untuk kedua pihak ini disamarkan untuk melindungi ketenteraman hidup mereka berdua.

Si B memang senang melontarkan kritikan atau sindiran terhadap fenomena sosial. Sayangnya, si A selalu menganggapnya sebuah kalimat sinis atau nyinyir. Sebagai follower (baca: stranger) B, tentu saja A tidak memiliki pengetahuan cukup untuk mengenal karakter dan latar belakang si B. Bagi saya, sejujur apa pun tweet yang dituliskan, masih belum bisa menjadi jaminan bahwa orang lain memahami kita.

Akibat minimnya pengetahuan, maka si A mulai melakukan gencatan tweet nomention dan menilai si B sebagai orang yang tidak dapat menerima perubahan dan berlindung dari bencana orang lain.

“Kenapa akun B selalu memandang orang lain sinis. Dia sendiri pernah berkarya, membujuk orang untuk menghargai karyanya untuk keperluan penggalangan dana untuk sebuah bencana.”


Begitulah penilaian A terhadap B. Sebagai kerabat yang memahami karakter B, ada penilaian yang salah dari kalimat tersebut. Penggunaan kata “selalu” dan “sinis”. Kadang, kritikan atau sindiran dikategorikan sebagai tindakan sinis. Dalam tweetnya B, ia masih mencoba melihat sisi baik dan buruk dari fenomena sosial yang ia bahas. Itu bukan sinis. Simak saja beberapa definisi yang coba saya sadur dari KBBI.

nyi.nyir a mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet: nenekku kadang-kadang -- , bosan aku mendengarkannya;

me·nyin·dir v mengkritik (mencela, mengejek, dsb) seseorang secara tidak langsung atau tidak terus terang;

kri·tik n kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk thd suatu hasil karya, pendapat, dsb;

si·nis a 1 bersifat mengejek atau memandang rendah: ia tersenyum -- melihat orang itu; 2 tidak melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yg ada pd sesuatu

Si B pun memang memiliki “pemaknaan” lain tentang penggunaan Twitter. Baginya, Twitter menjadi tempat untuk menuangkan segala gagasannya, baik itu hobi atau pun pemikirannya terhadap suatu hal. Secara gamblang, kicauannya sangat “why are you so serious?-able”, jika saya mencoba memberikan gambaran. Wajar saja, jika beberapa follower-nya suka menganggap bahwa ia (sok) kritis dan gemar menyindir.

Penilaian keliru lainnya terdapat dalam kalimat kedua. Peristiwa penggalangan dana itu dimulai jauh dari karya si B muncul di publik. Cara ini pun akhirnya menjadi jalan satu-satunya bagi si B untuk bisa membantu orang lain. Di dalam tweet-nya (sewaktu proses penggalangan dana), B juga tidak pernah memaksa orang lain agar menghargai karyanya. Distorsi ini barangkali terjadi karena A tidak mengikuti timeline B dari awal.

Lebih miris lagi, sambil me-mention akun lain di timeline-nya, secara terang-terangan si A berniat untuk menggosipkan kelakuan si B. What a tweet!

Apakah tulisan ini terlalu subyektif karena saya mengetahui kehidupan personal si B? Terserah saja bagaimana tulisan ini dimaknai. Setidaknya, saya juga belajar memahami mungkin si A juga punya alasan mengapa ia memaknai tweet B seperti itu.

Ah, Twitter! You’re killing me softly

*Tulisan juga hadir di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun