Mohon tunggu...
Cecilia Francessa
Cecilia Francessa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya

Menulis akan menggambarkan sesuatu yang tidak bisa diucapkan lewat kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Senin Terakhir di Penghujung Tahun 2021, Potret Kebun Raya Bogor dengan Segala Ceritanya

5 Januari 2022   07:06 Diperbarui: 5 Januari 2022   07:12 1991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto terowongan penyeberangan jalan di bawah jalan raya (Dokpri)

Jakarta, 05 Januari 2022

Bogor, si kota hujan. Bogor dengan segala keindahannya, sudah tidak asing dengan kebun raya yang berada dekat dengan alun-alun kota Bogor, Stasiun Kereta Api Bogor, dan dekat juga dengan gedung kampus Institut Pertanian Bogor. Kebun raya ini beralamat lengkap di Jl. Ir. H. Juanda No.13, Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat.

Pagiku, cerahku, matahari bersinar, bisa digambarkan seperti inilah suasana pagi hari di Senin terakhir pada penghujung tahun 2021. Awan-awan nampaknya begitu bersahabat dengan saya, menemani setiap pijakan langkah saya menuju kota Bogor dengan segala kisahnya. 

Perjalanan kurang lebih satu setengah jam menggunakan KRL commuterline dari Jakarta tidak menyurutkan niat saya yang hendak menikmati banyak hal di setiap sudut kota Bogor yang saya jumpai, terkhusus perihal jatuh cintanya saya dengan kebun raya.

Perjalanan Setapak Menuju Kebun Raya

Kelancaran petualangan saya terhenti ketika sampai di Stasiun Bogor. Berangkat dari niat untuk self healing, saya memutuskan untuk tidak sendiri berkeliling di Kebun Raya Bogor. 

Sekitar lima menit saya menunggu teman dekat saya di depan pintu keluar stasiun. Setelah bertemu, kami melanjutkan perjalanan ke salah satu coffee shop yang berlokasi di dekat kampus Institut Pertanian Bogor.

Secangkir kopi pagi di hari Senin terakhir tahun 2021 telah terseruput habis oleh kami, kemudian kami memutuskan melakukan perjalanan ke Kebun Raya Bogor dengan berjalan kaki dari depan gedung kampus Institut Pertanian Bogor. 

Kurang lebih kami harus menempuh jarak 1 kilometer untuk sampai di Kebun Raya Bogor, cukup melelahkan untuk saya yang jarang berolahraga.

Macetnya pusat kota Bogor memang tidak perlu diceritakan lagi bagaimana gambarannya. Sepanjang perjalanan kami berjalan kaki, udara sejuk membelai dan menerpa tiap inci kulit saya. Tetapi, bukan tentang udara sejuk hal menariknya.

Mata saya tak berhenti memandang kagum terowongan penyebrangan jalan yang kami lewati. Kebetulan, hanya kami berdua yang melewatinya pada waktu tersebut. Tanpa melewatkan kesempatan, saya mengambil beberapa foto untuk diabadikan.

Foto terowongan penyeberangan jalan di bawah jalan raya (Dokpri)
Foto terowongan penyeberangan jalan di bawah jalan raya (Dokpri)
Keindahan yang Dapat Dijamah oleh Mata

Tidak terasa saya banyak sekali mengeluh dan membuang nafas ketika sampai di loket pembelian tiket masuk ke Kebun Raya Bogor. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1 kilometer tidak disarankan untuk kategori seperti saya yang tidak berolahraga selama pandemi. Untungnya, cuaca hari itu mendukung saya untuk merasa nyaman dan merealisasikan self healing dengan benar.

Harga tiket masuk yang harus dibayar cukup murah, saya menghabiskan Rp 35.000, - untuk dua orang dewasa, harga tiket akan berbeda jika datang pada saat akhir pekan. 

Setelah membeli tiket masuk, rasanya kami terlalu siap untuk menjajaki tiap sudut dari kebun raya. Tidak lupa dengan bantuan peta lokasi destinasi dan rambu pengarah ke destinasi tersebut.

Namun, wacana akan tetap menjadi wacana bila manusia tidak dapat melewatinya. Saya sudah berencana untuk mampir ke taman akuatik, namun papan pengarah ke bunga bangkai raksasa jauh lebih menarik dari sudut mata saya. Saya dan teman saya terus berjalan sekitar 1 kilometer untuk mencari bunga bangkai raksasa tersebut.

Tanpa kami sadari ternyata bunga tersebut sudah terlewat 500 meter dari tempat kami sekarang. Pemandangan pohon-pohon tinggi dengan jenis nama pada setiap pohonnya ternyata membuat saya begitu nyaman berjalan hingga lupa akan apa yang saya cari pada awalnya.

Sangat indah hingga rasanya duduk diam di pinggiran pepohonan sambil bercerita bukanlah hal yang buruk juga. Namun, pada akhirnya perjalanan harus tetap berlanjut dan tujuan kami berikutnya adalah jembatan gantung. Sekitar 400 meter jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke jembatan gantung yang berwarna merah tersebut.

Namun, sekali lagi harus ditanamkan bahwa ekspektasi memang terkadang memakan realita. Ketika sampai di depan jembatan gantung, ternyata sudah ada rambu peringatan dilarang masuk, yang artinya wisatawan tidak bisa menginjaki jembatan tersebut. Tidak kehabisan akal, saya tetap berjalan berbalik ke jembatan besar yang sebelumnya saya lewati.

Banyak hal yang tidak kalah indah, tergantung setiap orang melihatnya dengan cara apa. Sampai di jembatan tersebut kami bertemu dengan beberapa wisatawan yang sedang berfoto dengan sepeda sewaannya. Tidak ingin ketinggalan juga, ditangan saya sudah siap kamera handphone untuk mengabadikan tiap lekuk ciptaan Tuhan yang diperindah oleh manusia.

Sungai di bawah jembatan permanen (Dokpri)
Sungai di bawah jembatan permanen (Dokpri)
Berjalan kaki sedikit dari jembatan permanen yang kami singgahi tadi, sekitar 200 meter kita berjumpa dengan Pohon Jodoh. Kedua pohon ini telah ditanam sejak tahun 1866. 

Saya sempat penasaran mengapa dinamakan jodoh, dan ternyata karena dua pohon tersebut terus berdampingan sepanjang hidupnya. Mereka nampak sama, namun ternyata berbeda jenisnya.

Pohon Jodoh (Dokpri)
Pohon Jodoh (Dokpri)
Destinasi berikutnya adalah tempat yang tidak saya rencanakan. Berangkat dari petualangan mencari bunga bangkai raksasa yang tidak membuahkan hasil membuat saya dan teman saya memutuskan untuk pergi ke tempat di mana teratai raksasa berada. Tempatnya tidak begitu jauh sekitar 500 meter dari pintu masuk kebun raya.

Kemudian, kami memutuskan untuk duduk di atas hamparan rerumputan yang luas sembari bercerita satu sama lain. Ah, ternyata tiga hal dari sekian banyak yang terbaik dari kehidupan adalah bercerita, didengar, dan mendengar ya.

Penutup Hujan Raya Akhir Desember di Kota Bogor

Satu jam lebih lima puluh menit telah terlewati, tak terasa angka jarum jam menunjukkan pukul 13.30 WIB. Cuaca yang semula bersahabat menyambut datangnya diri saya, perlahan meredup seperti meminta saya lekas istirahat dan pulang ke rumah. Perjalanan menyusuri kebun raya pun berakhir, tenggelam sejalan dengan bunyi-bunyian singgungan rel kereta meninggalkan kota Bogor.

Jika Jogjakarta tempat sejuta kenangan dan secercah rindu yang tersusun dari setiap jalanan yang disusuri, maka Bogor dan Kebun Rayanya punya segudang kenyamanan, seguyur hujan raya yang rasanya tidak akan sama di tempat mana pun. 

Menurut saya, sebuah tempat memang bukan hanya menjadi 'apa yang pernah ditangkap oleh mata', tetapi menjadi 'sebuah cerita' ketika kita kembali untuk mengingatnya.

Jadi, apakah sudah mulai jatuh cinta dengan Kebun Raya Bogor tanpa kesana?

Sebuah tempat memang bukan hanya menjadi 'apa yang pernah ditangkap oleh mata', tetapi menjadi 'sebuah cerita' ketika kita kembali untuk mengingatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun