Pontianak juga merupakan tempat ideal buat Cap Go Meh. Setiap tahun ratusan ribu orang keturunan Cina berkumpul di kota ini untuk merayakan tahun baru Imlek. Bukan saja dari Medan, kota-kota di Jawa, Sulawesi dan lainnya, tapi juga dari Singapore dan Malaysia. Cap Go Meh di Pontianak sudah menjadi trademark tersendiri yang dikenal luas. Entah apa yang menarik dari peristiwa itu jika dilakukan di Pontianak. Padahal seingat saya yang namanya tahun baru Imlek pasti sama saja. Dimana-mana bangunan kelenteng, penuh dengan lampoon, angpau, barong sai dan hio yang dipasang dimana-mana.
Dari sini, ke luar negeri juga bisa. Jarak Pontianak-Kuching (ibukota Sarawak, Malaysia Timur) hanya 45 menit penerbangan. Tapi pesawatnya jarang-jarang. Kalaupun ada jenisnya masih baling-baling, bukan jet. Bisa juga naik bis, tapi jarak tempuhnya lumayan lama, 18 jam. Masalahnya, sampai di Kuching, apa yang mau dilihat? Saya pernah rapat disana selaku anggota Dewan Syariah, Securities Commission Malaysia (mewakili Indonesia). Baru satu hari disana sudah kepingin pulang. Kota ini hidup hanya delapan jam, dari jam 7 pagi (jam 8 waktu Jakarta) sampai jam 4 sore (jam 5 waktu Jakarta). Setelah itu Kuching seperti kota mati. Sepi. Nyaris tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Tidak ada penjaja makanan yang suka lewat seperti di kampung sendiri, seperti mie tektek, nasi goreng dans ebagainya.
Hubungan Sosial
Suka atau tidak, kota ini masih menyimpan rasa tegang, sisa kerusuhan tahun 1999. Saat itu Melayu dan Dayak bersatu melawan Madura. Apa yang terjadi diantara mereka sungguh mengerikan dan di luar batas yang dilakukan manusia normal. Yang saya ingat, hampir seluruh majalah luar negeri waktu itu (Times, News week sampai Far Eastern Economic Review) memajang foto-foto yang menunjukkan sisa-sisa pertempuran sadis diantara dua kelompok.
Kerusuhan 1999 tidak bisa dibantah merupakan krisis kemanusiaan yang merupakan ekor terakhir dari krisis ekonomi, yang didahului krisis keuangan dan merupakan akibat krisis perbankan. Meledaknya kerusuhan dimana-mana diakibatkan dari bertumpuknya masalah yang tidak terselesaikan sehingga ketika mendapatkan momentum ia meledak seperti bom waktu.
Kini ada fenomena baru, yang bisa menimbulkan hal yang sama. Gubernur sekarang, Cornelis, berasal dari etnis Dayak-Kristen, dan wakilnya dari etnis Tionghoa. Keduanya berhasil naik menjadi pasangan yang berkuasa setelah berhasil mengecoh 3 pasang balon gubernur dengan komposisi Islam-Kristen. Maka asumsi bahwa minoritas tidak bisa mengalahkan mayoritas kini tidak berlaku. Tergantung strateginya bung, kata orang dulu. Kalau mayoritasnya bodo dan para pemimpinnya ndablek (mau menang sendiri, nggak ada yang mau ngalah) ya seperti itu nasibnya.
Di negara yang tidak berdasarkan agama seperti Indonesia, sekarang ini masalahnya bukan soal muslim atau tidak. Banyak juga para pemimpin yang muslim akhirnya masuk bui karena korupsi. Nilai-nilai luhur Islam tentang keadilan, kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab tidak pernah tercermin dalam kehidupan mereka. Buat mereka Islam artinya shalat, zakat, puasa, haji, maulid dan mi’raj. Ketika mereka kampanye untuk pemilihan, biasanya mereka tampil bak pemimpin Islam; peci, baju koko dan atribut Islam lainnya. Demikian pula ketika menghadapi masalah, yang diturunkan adalah massa yang menggunakan atribut Islam.
Perbankan Syariah
Di Pontianak, meskipun kecil daerahnya, perbankan syariah punya pesaing hebat. Namanya Credit Union. Ini semacam LSM yang memberikan kredit murah kepada pengusaha kecil. Apa dasar hukumnya, nggak jelas. Koperasi bukan, bankpun bukan. Tapi, secara sportif bank syariah harus mengakui bahwa Credit Union sangat cepat berkembang. Cara mereka memberikan kredit sangat sederhana. Cukup dengan fotocopy KTP. Tapi sebelum dicairkan kreditnya, nasabah akan dibina secara khusus dalam beberapa kali pertemuan dengan nasabah lain. Persis waktu pertama kali BMT (Baitul Mal Wattamwil) diperkenalkan di sekitar Jabotabek dulu.
Sumber dana credit union ini nggak jelas dari mana. Yang jelas ia selalu siap membantu apabila nasabah memerlukan. Monitoring nasabah juga ketat. Setiap hari petugasnya mendatangi nasabah-nasabah yang sudah menerima pinjaman. Baik untuk menerima cicilan maupun sekedar meyakinkan bahwa nasabahnya benar-benar melakukan usaha.
Menghadapi pelayanan yang pro-aktif ini terus terang aja bank syariah bisa keok. Sebab yang namanya bank tidak bisa sembarangan melakukan pencairan tanpa ada analisa nasabah, analisa pembiayaan dan analisa jaminan. Yang seperti itu saja pasti memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apalagi ngurus pembinaan antar nasabah segala (walaupun dulu pada tahun 2007 pernah ada kajian linkage BUS-BPRS- BMT yang merngharuskan adanya keterlibatan nasabah dalam group)