Mohon tunggu...
Ratna Yusmika Dewi
Ratna Yusmika Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Mom learner & Momprenuer

Menulis menghempas lelah, senyum merekah menikmati hidup penuh berkah.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Limbah Jelantah Rumah Tangga untuk Investasi Emas

1 Oktober 2021   09:42 Diperbarui: 1 Oktober 2021   09:58 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from google image


Dari tahun ke tahun sampah menjadi sebuah masalah khususnya adalah sampah rumah tangga. Dari sampah alami ataupun sampah plastik.

Akhir-akhir ini pemerhati lingkungan khususnya di daerah saya di kota Denpasar sedang menggalakkan bagaimana cara mengelola sampah rumah tangga yaitu sampah dapur dari aktivitas memasak sehari hari. 

Adapun aktivitasnya seperti pengadaan berbagai pelatihan ataupun himbauan untuk mengelola sampah dapur organik. Sampah dapur organik itu seperti sampah dari potongan sayuran kulit buah-buahan, sisa-sisa makanan.

Selain sampah sayuran dan sisa makanan ada hal yang lebih penting saat ini adalah limbah minyak goreng yang disebut jelantah.
Sedikit saya flashback masa kecil saya, teringat sekali nasihat nenek moyang saya.

Nenek saya berpesan kalau kita menggoreng makanan minyaknya sedikit sedikit saja, waktu itu nenek juga menyampaikan agar minyaknya tidak menjadi jelantah.

Dulu saya berpikir bahwa nenek saya ini perhitungan, sempat kala itu saya menggerutu sendiri "kalau masak minyak harus sedikit apa ya mateng?" Saat itu, saya melihat dan menemani beliau memasak di dapur jadul atau biasanya disebut Pawon.

Suau hari saya bertanya ibu saya, mengapa si Mbah hemat menggunakan minyak. Dan Ibu bercerita bahwa orang terdahulu itu sangat menghargai atau disiplin dalam menggunakan sesuatu. Zaman dimana mencari makan susah, membeli sesuatu jauh dari pemukiman.

Kendaran belum secanggih sekarang, jalan kaki dan naik sepeda onthel jadi piihan. Ibu menambahkan " Mbah dulu, kalau mau menjual hasil kebun itu jalan kakinya berkilo - kilo".

Oleh karena itu, mbah kita dahulu hidupnya penuh dengan rasa pruhatin, dengan kata lain tirakat. Terdidik kalau makan tidak boleh ada sisa makanan. Jadi teringat masa kecil saya kalau makan tidak habis si mbah bilang "Ngko pitik'e mati loh nduk" (red. nanti ayam mati) akhirnya mau nggak mau harus menghabiskan makanan biarpun kita sudah kenyang.

Mitos atau fakta? setelah dewasa begini saya sadar kata kata kiasan itu, bahwa sebenarnya tidak ada hubungan antara makanan yang tidak habis dan ayam mati. Karena setiap makhluk hidup itu akhirnya juga mati kan. Cengar cengir sendiri jadinya, ketawa. 

Beda dengan anak zaman now, anak yang kritis dan mempunyai penalaran dan lebih masuk akal. kalau ada makanan tidak habis mereka berkata "Ya nggak mungkin lah ayam mati, itu Eyang kakung kasih makan ayam dari sisa makanan, hehehe."

Jadi pada dasarnya kenapa Mbah kita itu mengajarkan kita disiplin terhadap makanan. Adab makan yang diajarkan adalah mengambil sedikit, jika nanti kurang bisa tambah lagi jadi tidak membuang makanan. Bahkan sahabat saya pun bercerita kehidupan dimasa tahun 80'an. 

"Jangan kan mau nambah makanan mba, Ibu saya dulu membagi rata semua makanan kepada anak anaknya. Seberapapun itu, ya di makan dan itupun bukan nasi beras tapi tiwul tanpa lauk."

Kembali kepada limbah minyak goreng. Zaman sekarang kebutuhan minyak goreng menjadi sebuah kebutuhan pokok dan mudah didapatkan. Mbah kita kalau mau goreng-goreng itu biasanya membuat olahan minyak secara tradisional atau manual yaitu dari santan yang kemudian dijadikan minyak kelapa. Tentunya kualitas minyak kelapa asli dengan minyak sekarang itu jauh lebih baik zaman dahulu. Dan ini menjadi salah satu alasan mbah kita dahulu itu, sangat hemat sekali karena menyadari begitu rumit proses membuat minyak goreng.

Cara lain berhemat menggunakan minyak goreng adalah, seringnya mbah kita mengolah makanan dengan cara mengukus atau membakar. Masih sangat teringat dalam memori saya, si mbah menanak nasi sambil membakar pisang kadang pula singkong dalam api api ditemani sedapnya secangkir kopi.

Sekarang, mudahnya dan berlimpah pasokan minyak goreng membuat aktivitas perdapuran sangat tergantung dengan persediaan minyak goreng. Berbagai merek minyak goreng sangat mudah sekali dibeli di toko kelontong ataupun minimarket. 

Sesuai kebutuhan kantong kita, dari harga yang paling murah hingga harga yang eksklusif sesuai dengan kualitasnya. 

Dan menu atau olahan makanan gorengan masih menjadi favorit kita semua. Yang pada akhirnya limbah minyak goreng dari waktu kewaktu pun juga melimpah..

Sayang kan kalau dibuang begitu saja?

Image from www.eoagold.id
Image from www.eoagold.id

Nah, beberapa bulan ini di Denpasar tempat tinggal saya memanfaatkan limbah jelantah sebagai ladang investasi yaitu investasi emas. 

Saya melihat postinga salah satu teman Facebook saya yang sudah mengoleksi sekitar 4 sampai 5 mini gold dari hasil mengumpulkan minyak jelantah. 

Jadi masyarakat yang ingin berinvestasi emas hanya cukup memanfaatkan limbah minyak jelantah di rumah. Menukarkan sebanyak minimal 7 liter yang nantinya kita tukar dengan minigold sebesar 0,025 gram.

Wah siapa nih yang nggak kepincut dengan investasi emas?

Dan program inilah yang semakin membuat ibu-ibu rumah tangga semangat mengumpulkan minyak jelantah. tetap meluruskan niat menjaga lingkunga, sedangkan mendapatkan emas itu adalah bonusnya. Bukan hanya kulit kita yang glowing, tetapi tabungan kita juga glowing, hasil dari minyak jelantah. 

Investasi minyak jelantah menjadi emas ini juga mengajarkan kita tentang sebuah kesabaran dalam berproses. Saya juga ikut nyemplung dalam dunia menabung mini gold ini walaupun sedikit agak telat ya informasi yang saya dapat.  

Setelah saya praktekkan beberapa minggu ini, saya baru mendapatkan beberapa mili minyak jelantah hasil sisa setiap menggoreng.

Karena kebutuhan menggoreng setiap rumah tangga itu bervariasi. Ini potensi bagi para penjual gorengan, seperti yang kita lihat kuantitas menggorengnya lebih sering daripada ibu rumah tangga. Tetap semangat ya emak emak, karena tujuan saya bukan hanya emas tetapi pemanfaatan atau peduli terhadap lingkungan sekitar khususnya limbah minyak goreng.

Semangat glowing!

by Ratna Yusmika Dewi

Denpasar, 1 Oktober 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun