Dari tahun ke tahun sampah menjadi sebuah masalah khususnya adalah sampah rumah tangga. Dari sampah alami ataupun sampah plastik.
Akhir-akhir ini pemerhati lingkungan khususnya di daerah saya di kota Denpasar sedang menggalakkan bagaimana cara mengelola sampah rumah tangga yaitu sampah dapur dari aktivitas memasak sehari hari.Â
Adapun aktivitasnya seperti pengadaan berbagai pelatihan ataupun himbauan untuk mengelola sampah dapur organik. Sampah dapur organik itu seperti sampah dari potongan sayuran kulit buah-buahan, sisa-sisa makanan.
Selain sampah sayuran dan sisa makanan ada hal yang lebih penting saat ini adalah limbah minyak goreng yang disebut jelantah.
Sedikit saya flashback masa kecil saya, teringat sekali nasihat nenek moyang saya.
Nenek saya berpesan kalau kita menggoreng makanan minyaknya sedikit sedikit saja, waktu itu nenek juga menyampaikan agar minyaknya tidak menjadi jelantah.
Dulu saya berpikir bahwa nenek saya ini perhitungan, sempat kala itu saya menggerutu sendiri "kalau masak minyak harus sedikit apa ya mateng?" Saat itu, saya melihat dan menemani beliau memasak di dapur jadul atau biasanya disebut Pawon.
Suau hari saya bertanya ibu saya, mengapa si Mbah hemat menggunakan minyak. Dan Ibu bercerita bahwa orang terdahulu itu sangat menghargai atau disiplin dalam menggunakan sesuatu. Zaman dimana mencari makan susah, membeli sesuatu jauh dari pemukiman.
Kendaran belum secanggih sekarang, jalan kaki dan naik sepeda onthel jadi piihan. Ibu menambahkan " Mbah dulu, kalau mau menjual hasil kebun itu jalan kakinya berkilo - kilo".
Oleh karena itu, mbah kita dahulu hidupnya penuh dengan rasa pruhatin, dengan kata lain tirakat. Terdidik kalau makan tidak boleh ada sisa makanan. Jadi teringat masa kecil saya kalau makan tidak habis si mbah bilang "Ngko pitik'e mati loh nduk" (red. nanti ayam mati) akhirnya mau nggak mau harus menghabiskan makanan biarpun kita sudah kenyang.