Sambil mendengarkan kompasianer yang diminta berbicara, saya yang masih takjub bisa makan siang di istana sibuk memperhatikan isi ruangan tempat kami dijamu tersebut sehingga tidak semua perhatian saya bisa tercurahkan untuk menyimak dengan baik. Maaf kalau urutan majunya tidak sesuai karena saya hanya mengingat nama-nama dan poin-poin yang disampaikan mereka dan bagaimana presiden menanggapinya.
Mas Junanto Herdiawan, sang flying traveler mendapat giliran pertama. Mas Jun mempekenalkan diri termasuk dalam 10 kompasianer awal sekali sewaktu admin masih selektif memilih siapa saja yang bisa menulis di Kompasiana. Selain itu mas Jun juga bekerja di BI sehingga sering juga menulis hal yang berkaitan dengan keuangan dan perekonomian. Di akhir pembicaraanya, mas Jun lebih meminta saran kepada pak Jokowi bagaimana menghadapi era keterbukaan dimana hampir tidak ada lagi yang bisa ditutupi dan juga perseteruan antara haters dan lovers yang tiada hentinya di media sosial.
Saya lupa-lupa ingat sepertinya giliran kedua adalah mbak Rusda Leikawa kompasianer asal Maluku, pendiri komunitas KOMA, Kompasianer Amboina. Mbak Rusda banyak bercerita tentang pengalamannya menulis dan bagaimana dia mengajak warga menulis di Kompasiana. Tujuan dibentuknya KOMA sebenarnya adalah untuk menyatukan kompasianer di Maluku dan melupakan perpecahan Maluku akibat SARA di masa lalu.
Lalu giliran pak Thamrin Dahlan. Nah pak Thamrin ini lah yang mengusulkan agar di setiap kunjungan presiden ke daerah tidak hanya mengajak wartawan media tapi juga kompasianer agar apa yang ditulis tentang kunjungan presiden lebih apa adanya. Di awal maju ke depan pak Thamrin santai bercerita bahwa dirinya sempat heran mengapa dipilih untuk ikut makan siang di istana karena buku “Prabowo presidenku” adalah karyanya. Ruangan seketika pecah oleh tawa kami mendengar pengakuannya termasuk pak Jokowi. Namun pak Thamrin juga menggarisbawahi bahwa dia tunduk pada ajakan pak Prabowo yang meminta kepada seluruh pendukungnya di pilpres lalu untuk mendukung pak Jokowi sebagai presiden terpilih.
Kalau tidak salah, kompasianer yang maju berikutnya adalah Marlistya Citraningrum. Mbak Marlistya tidak memiliki uneg-uneg tertentu, dia hanya menyampaikan pengalamannya selama ngeblog di Kompasiana. Saya menangkap lebih banyak hal-hal di luar dari disiplin keilmuannya yang dia bagi di Kompasiana meskipun dia telah menyelesaikan S3-nya.
Mbak Fera Nuraini juga termasuk kompasianer yang berbicara di depan. Mata saya sempat berkaca-kaca dan tenggorokan seperti tercekat melihatnya tidak kuasa menahan rasa haru ketika mengungkapkan bagaimana senangnya bisa bertemu langsung dengan pak Jokowi. Mbak Fera adalah salah satu BMI yang sudah cukup mapan dan memilih untuk kembali ke Indonesia saat ini. Dia menyampaikan bagaimana pelayanan KJRI yang dirasa kurang berpihak terhadap para BMI di Hongkong.
Kemudian giliran kompasianer Wijaya Kusuma yang lebih dikenal dengan panggilan om Jay. Salah satu kompasianer istiqomah ini menyampaikan keprihatinan mewakili rekan-rekannya dari profesi guru karena menurutnya di Indonesia masih ada sekitar 30 persen guru dimana tempatnya mengabdi belum medapat aliran listrik. Jangankan menulis di blog, menggunakan handphone atau komputer pun tidak bisa. Om Jay juga menambahkan bahwa pelajaran TIK tidak bisa diajarkan dan dipraktikan karena terkendala masalah listrik ini sehingga di beberapa sekolah dihapuskan.
Berikutnya adalah mbak Aulia Gurdi, salah satu kompasianer yang saya kagumi ini meminta dengan kerendahan hati agar anak-anak berkebutuhan khusus mendapat hak yang sama dengan anak-anak Indonesia lainnya sehingga nantinya dapat berdayaguna bagi negara juga. Kebetulan mbak Aulia adalah seorang ibu dari seorang anak penyandang ASD, Autism Spectrum Disorder yang sudah menginjak usia 10 tahun namun belum memiliki kemampuan verbal yang pada umumnya didapatkan anak-anak di usia 2 tahun. Itu sebabnya mbak Aulia sangat mengetahui bahwa belum banyak rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan lainnya yang menyediakan fasilitas khusus semacam terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mampu berbicara.
Giliran terakhir namun cukup saya ingat pesannya adalah mas Agung Sony. Kompasianer dari Bali ini meminta agar pemerintah melakukan sesuatu untuk menghentikan polemik tentang “wisata syariah” di Bali. Mas Sony bercerita selama ini bahkan sejak ratusan tahun yang lalu kerukunan beragama di Bali tidak pernah terusik karena setiap pemeluk agama mengakui dan menyadari bahwa agama Hindu adalah agama mayoritas di sana. Selama menetap di Bali mas Sony tidak pernah merasakan adanya tekanan-tekanan dari pemeluk agama mayoritas tehadap minoritas di sana. Semua berjalan baik, rukun dan damai. Namun sejak seorang anggota dewan di Bali memunculkan wacana “wisata syariah” tersebut, sebagai muslim dia merasa tidak nyaman dan sama sekali tidak terwakili oleh anggota dewan tersebut.
Mempertimbangkan waktu ramah-tamah yang terbatas, akhirnya mas Isjet mempersilahkan pak Jokowi untuk menanggapi berbagai masukan dan cerita dari delapan kompasianer yang sudah maju. Seharusnya masih ada dua lagi namun protokoler istana sepertinya sudah mengingatkan masalah waktu ini kepada mas Isjet.
Pak Jokowi tidak menanggapi secara berurutan namun lebih mengajak para kompasianer yang hadir untuk menulis hal-hal positif yang dapat membangkitkan optimisme. Beliau heran karena beberapa pemberitaan terlihat pesimis padahal banyak kepala negara dan kepala pemerintahan menemui beliau untuk menanyakan bagaimana kondisi perekonomian Indonesia bisa tetap terjaga sementara beberapa negara terkena imbas cukup signifikan dari krisis.