"Kalau punya uang banyak, jangankan pulau pribadi atau pesawat jet, hukum saja bisa dibeli dengan leluasa"
Bicara tentang hidup, kadang nih memang kehidupan sangatlah lucu. Saking lucunya mau ngetawain aja sudah males. Negeri tercinta ini, yang sering orang sebut dengan "Negeri Konoha" atau "Negeri Wakanda" adalah gudangnya lawak. Bahkan, hal yang mestinya ada di ranah serius pun, dijadiikan bahan komedi.
Ya, keadilan. Itu adalah salah satu elemen dalam segala aspek di dunia ini, yang sering banget diributin orang. Bukan, bukan karena konsepnya nggak bener (Hmm... ada sih beberapa yang zonk!) tapi karena sering dijadikan lahan uji coba oleh orang-orang berkuasa. Kalau kita rakyat jelata, bisa apa sih? Jangan berharap lebih untuk hak-haknya dipenuhi, selama nggak ada uang pelicinnya.
Apa iya keadilan di negeri kita ini benar-benar nggak ada?
Ya nggak juga sih. Hanya biasanya keadilan seolah memihak pada pihak tertentu saja. Masih ingat kasus "Mister Mullet" yang terjadi sekitar tahun 2022 lalu? Yang sidangnya berjilid-jilid ngalahin sinetron Cinta Fitri? Nah itu. Salah satu contoh bahwa hal paling krusial di muka bumi ini aja bisa dibarter dengan... Negoisasi bawah meja.
Bukan suudzon atau apa ya. Coba deh di nalar dengan akal sehat. Bagaimana bisa nyawa seseorang dibayar dengan "Diskon Hukuman"? Nggak Cuma itu, belom lagi kasus Si Bocah Rubicon. Yang jelas-jelas bikin orang jadi (Maaf) cacat atau keterbatasan mental. Yang dimana, dulunya si korban ya normal saja gitu. Gara-gara Si Rubicon, habislah sudah masa depannya.
Belum lagi kasus-kasus nyebelin kayak korupsi. Hah! Mending lupakan saja para Koruptor itu akan dihukum seadil-adilnya. Bukan rahasia umum kan, kalau sel penjara koruptor itu mewahnya minta ampun. Belum lagi ada yang ketahuan jalan-jalan disela masa tahanan. Kita, rakyat jelata ini hanya bisa tutup mata-tutup telinga saja. Habis, mau gimana?
Susah sih ya, kalau segala sesuatunya itu harus disajikan bersama uang dan kekuasaan. Kayak, apa-apa bisa dibeli gitu loh. Apalagi ditunjang dengan opini media mainstream yang lagi-lagi, bukan rahasia umum juga kalo mereka sudah dibungkam oleh dia-dia lagi. Miris, tapi ya begitulah adanya. Mereka mungkin masih beranggapan kalau masyarakat bisa di bodoh-bodohi. Bisa manut saja dengan apa yang mereka suguhkan. Tapi mereka lupa kalau sekarang ini, informasi bisa didapat dengan gamblang di platform manapun. Lucu sekali ya!
Terus Gimana Dong?
Dengan narasi-narasi dan fenomena hukum di Negeri kita ini, ada baiknya kalau kita mulai untuk memberhentikan budaya itu. Nggak gampang memang, tapi bisa dimulai dari hal kecil dulu. Misal, biasakan untuk jangan korupsi waktu seperti datang kekantor jam11 siang, padahal aturannya jam9 sudah mulai kerja. Atau biasa ngambil gratifikasi dari vendor dll. Biar gimanapun juga, hal-hal yang biasa kita sepelekan sehari-hari, adalah bentuk kecil dari hal besar yang oknum-oknum itu lakukan loh.
Dan kalau kita dapat hukuman dari apa yang kita lakuin, ya terima. Jangan biasakan untuk negosiasi keringanan hukuman atau ngeles-ngeles nggak mau disalahin. Okelah, semua orang punya jatah dosanya masing-masing. Tapi paling nggak, cegahlah dengan sadar apa yang sebaiknya nggak kita lakukan. Balik lagi, kalau memang kita salah ya terima hukumannya. Nggak enak? Ya emang. Namanya juga hukuman.
Istilah "Tumpul Keatas Runcing Kebawah" ini seolah jadi momok yang wajib kita normalisasi. Mau protes juga protes kesiapa? UUD 45 sudah jadi bahan Stand Up Comedy saja kalau begini. Jadi bahan lelucon dark dan satir yang bisa bikin penontonnya tertawa terbahak-bahak. Dengan asumsi, akan didengar dan dipertimbangkan oleh mereka-mereka itu. Bangunlah, jangan mimpi terus!
Lalu Kapan Keadilan Akan Benar-benar Tegak dan Berdiri Adil?
Mungkin nanti, entah kapan. Saat orang sudah mulai sadar diri dan sepenuhnya menjaga harkat martabat serta kaidah UUD 45 yang sudah susah payah di rumuskan dan disusun oleh bapak-bapak pejuang jaman dulu. Â Dan yang terpenting, jika kita sudah benar-benar takut akan Tuhan mungkin? Sehingga kita akan lebih hati-hati untuk bertindak. Ah, semoga saja ya.
Karena kalau hal sekelas hukum saja bisa dipermainkan, bagaimana yang lain? Gimana kita mau berharap tinggal di Bumi Pertiwi dengan aman, tentram dan damai? Sudahlah, hidup jangan terlalu manipulatif. Percuma nggak sih duit banyak tapi kayak nggak berkah? Ingat, kasian kan nasib maling ayam yang lebih nahas ketimbang pengeruk kesejahteraan rakyat. Padahal, si maling ayam melakukan itu hanya untuk bertahan hidup. Sedangkan Tikus Berdasi, demi memuaskan nafsu jahanam bejat saja.
Apa jangan-jangan, banyak orang nafsu dan berlomba untuk nyaleg karena kalau berkuasa, maka kita akan bisa melakukan segalanya? Wah, jangan begitu ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H