Mohon tunggu...
Catherin YMT
Catherin YMT Mohon Tunggu... Bankir - Female

An INFP Woman*Chocoholic*Pink Lover*Potterhead*Book Worm* Central Banker - Economic Analyst Email: catherinymt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Religius: Nilai Ketuhanan yang Universal

17 Juni 2019   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2019   16:59 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Writer's Digest

Suatu hari dalam suatu kesempatan saya pernah berbincang dengan seorang rekan yang berkewarganegaraan Jepang. Pembicaraan singkat tersebut sampai saat ini begitu membekas dalam benak saya dan menjadi dasar pijakan untuk memaknai pekerjaan dalam kehidupan saya. Saat itu dia bercerita tentang ritme kerjanya yang tidak kenal waktu dan hanya istirahat selama empat jam sehari. 

Mendengar ceritanya saya tergelitik untuk mengajukan satu pertanyaan yang agak pribadi. "Jadi kapan kamu punya waktu untuk beribadah? Atau paling tidak berdoa lah.." Jawaban yang terlontar dari bibirnya cukup mengagetkan, "My Work is My God, Pekerjaan saya adalah Tuhan saya" Jadi selama saya bekerja, saya sedang beribadah.

Ibadah dan pekerjaan. Bagi sebagian besar orang di zaman modern ini memilih untuk memisahkan antara kehidupan pekerjaan dengan kehidupan ibadahnya. Ibadah dianggap merupakan ranah pribadi yang terpisah dari urusan sekuler. Lebih nyaman untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara ibadah dengan pekerjaan, sehingga seolah-olah seorang pribadi memiliki dua kehidupan di dalam dirinya. 

Namun apabila dicampuradukkan secara ekstrim seperti rekan Jepang saya itu, maka bagi masyarakat Indonesia yang sangat religius akan dianggap sebagai orang yang tidak ber-Tuhan. Walaupun tetap saja kita tidak bisa memungkiri bahwa orang-orang yang kita cap tidak ber-Tuhan itu etos kerjanya justru luar biasa, bahkan melebihi orang yang katanya religius. Kenapa bisa begitu?

Dalam kesempatan berbeda, saya juga pernah mengobrol dengan seorang teman baik yang memutuskan untuk berhenti bekerja. Teman saya tersebut merasa tidak dapat menemukan alasan yang memuaskan yang membuatnya harus bertahan di tempat kerjanya. 

"Apa makna dari setumpuk dokumen yang tak kunjung selesai, rapat-rapat panjang, dan komplain customer?  Saya lelah dan merasa hari-hari hidup saya terbuang percuma untuk sesuatu yang saya tidak tahu untuk apa", curhatnya dengan nada putus asa. 

Setelah berdiam sejenak, saya menunjukkan sebuah gambar dari teori yang sangat terkenal dan banyak dipakai oleh motivator-motivator. Gambar piramida kebutuhan dari Abraham Maslow.

"Dalam piramida ini ada lima tingkatan kebutuhan yang mungkin menjadi alasan mengapa kamu harus bekerja. Dan saya yakin bagi orang-orang yang bekerja di sebuah perusahaan yang mapan seperti kamu, kelima tingkatan piramida tersebut sudah terpenuhi", kata saya. "Yang menjadi alasan mengapa kemudian kamu merasa kehilangan makna adalah karena kamu, saya, dan banyak orang lainnya berhenti di tingkat kelima". 

Tingkat kelima yang merupakan tingkat aktualisasi diri dijelaskan sebagai puncak dari semua pemenuhan kebutuhan manusia. Padahal sebenarnya tidak. Bukan bermaksud mengoreksi teori Maslow, namun bagi saya seharusnya ada tambahan satu tingkatan lagi di atas semuanya itu, yakni spriritual need (kebutuhan manusia akan penyembahan kepada Tuhan) atau disederhanakan menjadi ibadah. Alasan bekerja yang paling utama dan paling penting bagi setiap orang adalah ibadah.

Sebenarnya jika kita ingin melihat dengan persfektif yang lebih luas dan pikiran yang terbuka, nilai-nilai ketuhanan akan selalu ada dalam setiap aspek kehidupan manusia, tak terkecuali di dalam pekerjaan. Siapa yang dapat memungkiri bahwa standar nilai kehidupan yang dianggap baik oleh semua orang sebenarnya adalah berasal dari nilai ketuhanan. 

Saya ambil contoh, mengapa kita bisa dengan yakin bisa berkata bahwa kejujuran adalah nilai yang baik, sedangkan kecurangan itu tidak baik. Pasti ada paham yang mendasari penilaian tersebut. Paham yang sudah ada di dalam benak setiap orang tanpa kecuali, apapun latar belakang agamanya. Paham inilah yang dimaksud sebagai nilai universal.

Nilai-nilai universal adalah nilai-nilai yang diterima oleh semua golongan, tidak dibatasi oleh suku, ras, daerah, budaya, agama ataupun kepercayaan kelompok lainnya. Nilai universal tidak akan mendapatkan pertentangan apabila dibenturkan dengan nilai agama apapun. Sehingga apabila diinterpretasikan dalam ruang lingkup sekuler seperti dalam pekerjaan, nilai tersebut akan mendatangkan hal baik bagi setiap orang tanpa kecuali. Nilai-nilai seperti kejujuran, toleransi, kerjasama, cinta kasih, tanggung jawab, dan penghargaan merupakan bagian dari nilai universal yang tidak hanya dapat diterima, tetapi justru mutlak untuk dihidupi oleh setiap orang dalam dalam dunia pekerjaan.

Tuhan tidak dimiliki oleh suatu kelompok manusia, tetapi oleh semua manusia tanpa kecuali. Demikian pula dengan nilai-nilai ketuhanan. Semua manusia sejak lahirnya memiliki sifat-sifat baik dalam dirinya yang merupakan cerminan pribadi Tuhan yang menciptakannya. Bila ada seseorang yang melakukan hal-hal yang tidak baik, bukan berarti orang tersebut diciptakan oleh Tuhan yang tidak baik, atau berasal dari Tuhan yang salah. Bila kita kembali kepada pemahaman yang benar tentang Tuhan, maka seluruh batas-batas keagamaan akan menghilang. Tuhan adalah Tuhan. Sifat dan pribadi Tuhan adalah sama, tak peduli dari golongan apapun kita berasal.

Ritual keagamaan dan tampilan luar adalah implementasi yang terlalu sempit dari pemahaman yang benar tentang nilai ketuhanan. Pemahaman seperti ini bukan saja dapat menimbulkan sekat-sekat diantara sesama manusia, tetapi juga dapat dianggap sebagai intervensi kehidupan pribadi seseorang. 

Hubungan seseorang dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi, tersembunyi dan tidak dapat disentuh oleh orang lain. Walaupun demikian, dampak dari hubungan tersebut dapat kita rasakan secara gamblang dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak pernah tahu atau bahkan tidak perlu tahu berapa kali seseorang beribadah atau berkomunikasi dengan Tuhan dalam sehari. Tapi hasil dari keintimannya dengan Tuhan tersebut dapat kita rasakan melalui sikap kesehariannya. 

Seorang yang lekat dengan Tuhan akan menghidupi nilai-nilai ketuhanan di dalam dirinya. Orang yang demikian tidak akan melakukan hal-hal yang dibenci oleh Tuhan. Secara otomatis juga Tuhan akan menjadi teladannya dalam bersikap, berpikir dan berkata-kata. Akan sangat aneh apabila kemudian orang tersebut justru melakukan hal yang bertentangan dengan pribadi Tuhan yang dia kenal, yang setiap hari dia sembah dalam ritual ibadahnya, pribadi yang dia ajak berkomunikasi dalam jam-jam doanya. Alangkah lebih indah apabila kehidupan peribadahan kita terdengar sayup-sayup dan tersembunyi, namun dampaknya menggelegar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun