Si kutu buku, begitulah dulu aku dijuluki oleh orang-orang terdekatku. Membaca memang merupakan hobi saya sejak mulai bisa membaca di umur lima tahun. Disaat teman-teman sebaya saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain di luar rumah, atau pergi les (dipaksa orang tua), saya lebih memilih untuk diam di rumah ditemani buku-buku. Bagi orang yang juga pencinta buku seperti saya, pasti tau senangnya menghirup aroma buku baru di tangan, dan tak sabar untuk segera membacanya.
Kalau dibandingkan dengan anak zaman now, saya dahulu persis seperti anak kecil yang kecanduan main gadget, tapi bedanya saya kecanduan baca buku. Semua jenis bacaan saya lahap, buku pelajaran (yep..keren kan), majalah, komik, koran papa saya, sampai buku resep masakan mama saya. Saya juga selalu menyisihkan uang jajan untuk ditabung dan nanti dibelikan buku baru, atau dipakai untuk berlangganan majalah.
Sebagai anak yang tumbuh di kota kecil, saat itu belum ada toko buku yang besar di tempat tinggal kami. Hanya ada satu dua toko kecil yang biasanya hanya menjual buku-buku pelajaran dan buku tulis.
Pilihan lainnya adalah kios-kios kaki lima yang menjual koran dan majalah. Waktu kecil saya sangat memimpikan suatu hari toko buku besar semacam gramedia buka di kota kami. Dan sampai sekarang impian itu belum juga terealisasi.
Tidak adanya toko buku yang mumpuni di kota kami membuat saya harus melakukan beragam cara untuk memenuhi hasrat membaca saya. Perpustakaan sekolah dan gereja adalah tempat favorit saya untuk bisa meminjam buku secara gratis.
Nama saya hampir selalu ada di baris teratas daftar pengunjung perpustakaan. Karena setiap hari saat jam istirahat, saya pasti lebih memilih menyempatkan ke perpustakaan daripada makan di kantin. Agak mirip si Hermione Granger di cerita Harry Potter.
Cara lain yang juga sering saya lakukan adalah dengan meminjam buku milik teman-teman saya. Kebanyakan dari mereka memang adalah anak orang mampu, yang dengan mudah bisa pergi ke luar kota saat akhir pekan dan membeli apa saja yang mereka suka. Sementara kemudahan itu tidak saya dapatkan sebagai anak dari keluarga sederhana.Â
Paling berkesan adalah saat buku serial Harry Potter sedang booming di kalangan anak-anak sebaya saya. Buku Harry Potter yang masing-masing seri nya memang berukuran cukup tebal itu harganya berada di luar jangkauan saya. Apalagi untuk mendapatkannya, saya harus pergi ke ibukota provinsi dulu, yang tentu saja memerlukan ongkos transportasi.
Tapi saya tidak menyerah, saya harus bisa membaca serial itu secara lengkap, bagaimanapun caranya. Untungnya waktu itu salah seorang teman sekelas saya ada yang punya keempat seri (yang terbit baru sampai nomor empat) buku Harry Potter. Saya pun mendekatinya untuk bisa meminjam buku-buku itu. Tapi ternyata bukan saya saja yang pengen meminjam, sudah ada sekitar belasan anak yang sudah mengantri giliran. Saya pun harus bersabar menunggu.
Akhirnya setelah menunggu selama hampir sebulan, saya dapat giliran untuk meminjam, dan apesnya kebagian buku seri ke-empat. Jadilah saya membaca Harry Potter secara acak, dimulai seri ke-4, lalu seri ke-2, ke-1, baru ke-3. Haha..ya mau gimana lagi kan.
Cara terakhir untuk mendapatkan buku yang saya lakukan memerlukan sedikit modal, walaupun tidak sebanyak kalau membeli buku baru. Caranya adalah dengan menjadi anggota tempat penyewaan buku yang cukup banyak di dekat sekolah saya. Ongkos sewanya bervariasi menyesuaikan harga buku dan seberapa favorit buku itu di kalanga  peminjam.
Jangka waktu peminjaman juga berbeda-beda, tergantung tebal tipisnya buku yang kita pinjam. Untuk mencegah kerugian akibat buku yang tidak dikembalikan, pemilik tempat penyewaan biasanya mewajibkan adanya uang jaminan yang jumlahnya cukup besar. Sudah pasti peminjam akan berpikir dua kali untuk tidak mengembalikan.
Kesukaan saya akan buku berlanjut sampai saya lulus kuliah dan bekerja di ibukota. Karena sudah punya gaji sendiri, jadilah saya semakin giat berburu buku di setiap ada kesempatan. Alhasil kamar kos saya yang berukuran kecil menjadi semakin sempit karena ada ratusan buku yang mengisi rak dan lemari. Jika biasanya kamar anak gadis dipenuhi oleh pakaian, separu, aksesoris dan kosmetik, kamar kos saya lebih mirip perpustakaan pribadi.
Akhir-akhir ini saya sudah semakin jarang baca buku. Karena sekarang yang saya tenteng kemana-mana bukan buku, tapi ponsel. Itu juga seringnya berakhir dengan belanja online. Yang sering dibaca hanyalah artikel dan postingan teman di media sosial. Saya rindu duduk dikelilingi tumpukan buku baru dan membaca berjam-jam tanpa diganggu. Kapan bisanya ya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H