Mohon tunggu...
Catherin YMT
Catherin YMT Mohon Tunggu... Bankir - Female

An INFP Woman*Chocoholic*Pink Lover*Potterhead*Book Worm* Central Banker - Economic Analyst Email: catherinymt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Menebar Rupiah di Pasar Ubud

3 November 2017   10:21 Diperbarui: 3 November 2017   10:54 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disini saya tertarik dengan salah satu hiasan berupa replika emas batangan 999,9 seberat 1000 gram. Harganya yang tertera di labelnya adalah RP239.000,00. Saya pun menghampiri penjaga toko yang duduk manis di meja kasir. "Mba, kalau disini bisa bayar pakai kartu ga?" tanya saya. "Bisa bu, disini terima visa dan master kok bu"' jawabnya sembari menunjuk ke mesin EDC yang ada di sebelah komputer. 

Setelah puas melihat-lihat isi toko, saya pun minta izin jepret-jepret ke si mba penjaga toko. Dia berbaik hati memberi dispensasi kepada saya, karena sebenarnya peraturan di toko tersebut melarang pengunjung mengambil foto bagian dalam isi toko.

Dokpri
Dokpri
Mengakhiri penjelajahan saya di sekitar Ubud, saya pun berjalan kaki kembali ke hotel tempat saya menginap. Sepanjang jalan saya menemui banyak turis asing yang mengantri di depan ATM. Saya kemudian berpikir, pedagang di pasar tradisional disini mungkin memang menjunjung tinggi slogan "Konsumen adalah Raja" dengan cara memberi mereka keleluasaan untuk membayar dengan mata uang apa saja yang mereka punya, namun dalam konteks yang salah kaprah. UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI sepertinya masih agak terabaikan di pasar-pasar tradisional terutama di daerah wisata.

Kurangnya pemahaman akan alternatif pembayaran non tunai juga menyebabkan sebagian besar pedagang di pasar cenderung enggan menerima pembayaran dalam bentuk kartu. Mereka merasa lebih nyaman menerima pembayaran dalam bentuk tunai karena uangnya lebih "rill", bisa dilihat dan dipegang langsung tanpa takut terjadi "error" di mesin EDC yang menyebabkan saldonya tidak bertambah. 

Padahal jika dipahami lebih baik, transaksi non tunai memiliki banyak keuntungan, seperti dapat memfasilitasi turis asing maupun lokal yang ingin berbelanja namun tidak membawa-bawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan berbagai macam currency. Selain itu tidak perlu mengantri di ATM dan money changer dulu untuk bisa berbelanja, karena cukup dengan mengantongi satu kartu kita dapat langsung bertransaksi.

Keuntungannya lagi adalah saat kita berhadapan dengan nominal harga yang agak "nyeleneh" seperti RP239.560,00, dengan pembayaran non tunai hal tersebut dimungkinkan tanpa harus repot mencari-cari uang pecahan kecil ataupun menerima kembalian dalam bentuk permen. Kegiatan belanja pun menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun