Disini saya tertarik dengan salah satu hiasan berupa replika emas batangan 999,9 seberat 1000 gram. Harganya yang tertera di labelnya adalah RP239.000,00. Saya pun menghampiri penjaga toko yang duduk manis di meja kasir. "Mba, kalau disini bisa bayar pakai kartu ga?" tanya saya. "Bisa bu, disini terima visa dan master kok bu"' jawabnya sembari menunjuk ke mesin EDC yang ada di sebelah komputer.Â
Setelah puas melihat-lihat isi toko, saya pun minta izin jepret-jepret ke si mba penjaga toko. Dia berbaik hati memberi dispensasi kepada saya, karena sebenarnya peraturan di toko tersebut melarang pengunjung mengambil foto bagian dalam isi toko.
Kurangnya pemahaman akan alternatif pembayaran non tunai juga menyebabkan sebagian besar pedagang di pasar cenderung enggan menerima pembayaran dalam bentuk kartu. Mereka merasa lebih nyaman menerima pembayaran dalam bentuk tunai karena uangnya lebih "rill", bisa dilihat dan dipegang langsung tanpa takut terjadi "error" di mesin EDC yang menyebabkan saldonya tidak bertambah.Â
Padahal jika dipahami lebih baik, transaksi non tunai memiliki banyak keuntungan, seperti dapat memfasilitasi turis asing maupun lokal yang ingin berbelanja namun tidak membawa-bawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan berbagai macam currency. Selain itu tidak perlu mengantri di ATM dan money changer dulu untuk bisa berbelanja, karena cukup dengan mengantongi satu kartu kita dapat langsung bertransaksi.
Keuntungannya lagi adalah saat kita berhadapan dengan nominal harga yang agak "nyeleneh" seperti RP239.560,00, dengan pembayaran non tunai hal tersebut dimungkinkan tanpa harus repot mencari-cari uang pecahan kecil ataupun menerima kembalian dalam bentuk permen. Kegiatan belanja pun menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H