Mohon tunggu...
Citrina Rakhmaningrum
Citrina Rakhmaningrum Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang lagi belajar nulis,apoteker untuk keluarga kecilku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Moral Generasi Muda, Orang Tua Perlu "Sekolah" Juga

19 Maret 2019   10:44 Diperbarui: 19 Maret 2019   11:09 1844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibu pertiwi dilanda duka, begitulah kira-kira perasaan yang menggambarkan keadaan moral generasi muda Indonesia saat ini. Setiap melihat berita di televisi, koran, media sosial selalu ada pemberitaan tentang rusaknya moral anak-anak dan remaja. 

Bahkan mungkin, kejadian tersebut bisa terjadi di lingkungan sekitar kita. Mulai dari tawuran, kekerasan baik fisik, psikis, verbal maupun seksual, narkoba, bahkan pembunuhan yang sebagian besar disebabkan oleh hal yang sepele.

Kini anak-anak dan remaja bukan hanya menjadi korban tapi sudah banyak yang menjadi pelaku.  Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kasus kekerasan terhadap anak di bidang pendidikan per 30 Mei 2018 sebanyak 161 kasus. Perinciannya, kasus anak korban tawuran 23 kasus, kasus anak pelaku tawuran 31 kasus dan kasus anak korban kekerasan dan bullying 36 kasus. 

Selanjutnya, kasus anak pelaku kekerasan dan bullying 41 kasus dan kasus anak korban kebijakan pendidikan sebanyak 30 kasus. Sedangkan data dari  Kementerian Sosial, hingga Juni 2017, Kementerian Sosial telah menerima laporan sebanyak 967 kasus; 117 kasus di antaranya adalah kasus bullying. Jumlah ini di luar kasus bullying yang tidak dilaporkan.

Di era serba digital ini, bullying tidak selalu dilakukan di dunia nyata. Berdasarkan data UNICEF pada tahun 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyber bullying. Di awal tahun 2019 ini pun, KPAI telah mendapatkan laporan kasus kekerasan anak baik sebagai korban ataupun pelaku sebanyak 24 kasus. 

Tentu saja ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Selain itu akhir-akhir ini dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan kekerasan murid terhadap guru. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan moral generasi muda semakin menjadi.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah generasi muda saat ini dilatih serba instan. Tolok ukur keberhasilan adalah nilai yang bagus. Selain itu, anak-anak juga cenderung kurang dihargai dan diberi apresiasi saat berada di sekolah maupun di rumah. Akibatnya, ketika tidak pernah dihargai maka mereka pun akhirnya cenderung tidak bisa menghargai dan mengapresiasi orang lain. 

Menurut psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Candra, mengutip sebuah teori ekologi Bronfenbrenner, perilaku anak-anak seperti itu dipengaruhi oleh banyak sistem. Sistem terdekat bagi siswa yaitu ekosistem sekolah dan keluarga, kemudian lebih luas sistem masyarakat, kebijakan, media sosial, dan budaya. 

Selain itu, krisis moral generasi muda semakin menjadi karena faktor media televisi yang menyajikan tontonan yang kurang mendidik dan media sosial yang memberikan kemudahan pada anak untuk mengakses segala macam informasi. Tentu saja sebagian besar anak belum mampu memfilter yang baik dan buruk.

Anak terlahir dalam keadaan suci, orang tualah yang mampu mencetak anak tersebut menjadi baik atau buruk. Namun bagaimana orang tua mampu mengambil peran tersebut jika mereka memiliki pikiran bahwa pendidikan adalah tanggung jawab sekolah sepenuhnya. Orang tua kekinian juga cenderung memiliki mindset "nilai" rapor yang baik adalah standar keberhasilan. 

Orang tua juga merasa cukup dengan merasa memenuhi segala kebutuhan materi anak atau terlalu acuh untuk mengikuti perkembangan zaman sehingga mereka juga tidak sadar bahwa anak mereka telah jauh meninggalkan tata krama dan moral yang baik. 

Bahkan yang lebih miris adalah kebanyakan orang tua saat ini tetap membela anaknya ketika salah bukan justru memberikan pengertian yang baik.

Disinilah pentingnya orang tua juga harus "sekolah". Ilmu harus dikejar sampai liang lahat. Apalagi ilmu bagaimana mendidik anak, karena anak adalah aset masa depannya dunia dan akhirat. Selain itu anak adalah aset bangsa yang kelak memimpin negara ini. Kesadaran orang tua memang cukup meningkat dengan maraknya seminar parenting maupun buku parenting. Namun itu tentu saja itu harus ditebus dengan harga yang tidak murah. Kemudian bagaimana dengan para orang tua yang memiliki ekonomi menengah ke bawah, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja kesulitan. Pada ranah ini, dibutuhkan peran pemerintah, inisiatif sekolah dan tentunya masyarakat.

Di Indonesia pendidikan karakter bukan hal yang baru. Pada Perpres No 87 tahun 2017 menargetkan penguatan nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. 

Kebijakan sudah ada, yang diperlukan pula adalah implementasinya. Diperlukan kerjasama lintas sektoral, tidak melulu dibebankan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja. 

Kurikulum tentu menjadi suatu hal yang penting dan krusial. Dimulai dari pendidikan anak usia dini (TK) dan dasar (SD) yang terpenting adalah pembentukan karakter. Setiap sekolah harus memastikan setiap aktivitas pendidikan mengandung nilai moral. 

Baik dalam mata pelajaran, aktivitas khusus maupun pelajaran terintegrasi. Jika ada kesenjangan tujuan dari pemerintah, sekolah dan orang tua maka cita-cita mewujudkan generasi yang baik pun akan pupus. 

Misalnya, di sekolah sudah ditekankan pendidikan karakter namun di rumah mereka dituntut untuk selalu mendapat rangking bagus serta orang tua memberikan teladan yang buruk. Oleh karena itu orang tua perlu dipahamkan juga. 

Mereka dapat diberikan pengarahan pendidikan karakter dan pentingnya memberi teladan baik dalam sikap dan ucapan setiap semester saat evaluasi hasil belajar.

Ketika wacana diadakannya kembali mata pelajaran Pendidikan Budi Pekerti atau PMP di sekolah, sebenarnya bukan hal yang penting. Apapun namanya yang terpenting adalah isi dan metode pengajarannya. Mata pelajaran yang berkaitan dengan moral, akhlak, atau budi pekerti sebetulnya telah diajarkan di sekolah tetapi isi mata pelajaran tersebut kebanyakan abstrak dan normatif. Metode pengajarannya umumnya menghafal saja sehingga murid kurang memahami cara mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini pun harus dipahami para pendidik. Guru di sekolah hendaknya tidak hanya mengajar tetapi mendidik dengan sepenuh hati. Karena mendidik terjadi proses membangun karakter anak. Sedangkan mengajar, anak hanya menjadi tahu dari tidak tahu dan menjadi bisa dari tidak bisa. 

Disini Kemendikbud dapat membuat program untuk me-refresh tujuan dari mendidik dan mengajar pada guru melalui seminar secara berkala. Tidak dipungkiri kualitas guru di Indonesia masih beragam, oleh sebab itu diperlukan upaya keras untuk menyetarakannya bukan hanya kemampuan pengembangan profesinya namun juga perlu pengembangan akhlak dan moralnya. 

Guru adalah "orang tua" bagi murid di sekolah, merekapun menjadi orang tua di rumah. Jadi mereka pun harus terus belajar dan bersekolah untuk selalu mengikuti perkembangan zaman.

Faktor utama lainnya adalah peranan orang tua di rumah. Orang tua di rumah harus memahami bahwa teknologi semakin berkembang, tuntutan zaman juga berbeda. Ketika niat baik orang tua untuk selalu memenuhi keinginan anak seperti gadget tanpa adanya pengawasan yang baik tentu saja hanya akan membawa dampak buruk.

 Pihak sekolah tentunya dapat dapat berperan memberikan wawasan pada para orang tua tentang menggunakan gadget yang bijak, mengarahkan dan mengawasi penggunaannya pada anak, bukan tak acuh atau justru sibuk sendiri dengan gadgetnya. 

Orang tua juga harus kembali menanamkan "unggah-ungguh" dalam bahasa Jawa atau sopan santun dalam masyarakat. Setiap budaya pasti memiliki perbedaan, namun budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak dan lain sebagainya pasti memiliki nilai tinggi yang dijunjung seperti bagaimana bersikap terhadap yang lebih tua, berkata yang baik dan santun.

Tidak kalah penting adalah pendidikan pra-nikah. Di Indonesia angka pernikahan pada usia muda masih cukup tinggi, namun tidak diimbangi dengan kemampuan tanggung jawab serta pemenuhan finansial yang baik. 

Sehingga  angka perceraian tinggi, anak banyak yang mengalami "broken home" akhirnya berdampak pada tingkah lakunya yang kurang baik karena memilih lingkungan yang kurang baik. 

Pendidikan pra nikah perlu untuk memberikan gambaran serta pengetahuan tentang kehidupan pernikahan dan mendidik anak. Jika pasangan yang merupakan calon orang tua memahami ilmu tentang pernikahan, diharapkan dapat membina keluarga yang harmonis dan bahagia. Secara tidak langsung hal tersebut juga berdampak pada psikologis dan perkembangan anak. 

Pendidikan pra nikah ini dapat diberikan ketika Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tingkat universitas. Jadi bukan hanya pendidikan seks saja yang penting, pendidikan pra nikah akan membuat anak-anak remaja belajar melihat tanggung jawab.

Dengan demikian, salah satu faktor yang memiliki peran besar atas krisis moral generasi muda saat ini adalah orang tua. Baik orang tua di rumah maupun di sekolah. 

Sehingga orang tua perlu memiliki kesadaran untuk selalu belajar dan memberikan teladan yang baik. Tentunya pemerintah dan masyarakat hendaknya turut andil dalam mengatasi dan mencegah krisis moral generasi muda yang semakin rusak. Karena generasi muda adalah pewaris negeri ini ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun