“Kita sebetulnya lebih memperdulikan orang-orang Papua, atau Sumber Daya Alamnya?”
–Viktor Mambor, Redaktur Jubi
71 tahun sudah negara ini merdeka. Kemerdekaan yang diraih bukan semata-mata karena kebetulan. Tetapi di sana ada perjuangan—pertaruhan nyawa. Hanya untuk satu tujuan, melepaskan diri dari cengkraman penjajah.
Kita patut bersyukur lahir di dunia dalam situasi aman tentram. Tak ada bunyi pistol yang saling saut. Ledakan bom yang menggelegar. Dan mayat-mayat bersimbah darah bergelimpangan. Kemerdekaan memang sudah diraih. Bangsa kita sudah bisa menentukan nasibnya sendiri. Bebas dalam arti sesungguhnya.
Namun, apakah keadilan yang termaktub dalam sila ke-5 sudah berjalan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa selama ini? Lalu apakah hak-hak masyarakat sudah terpenuhi? Jawabannya belum. Tanpa kita sadari, bagi masyarakat Papua, keadilan tersebut hanya angan-angan belaka. Bagi mereka memilih jalan sendiri—merdeka adalah pilihan yang mutlak apabila keadilan yang selama ini tampak semu tak kunjung terang.
Kita telah menyadari bahwa Papua adalah provinsi yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah. Mulai dari sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan. Dari beberapa sektor yang telah disebutkan, sektor pertambangan lah yang memiliki potensi sangat besar dibanding sektor-sektor lain. Dilansir dari portal Nasional RI, sektor pertambangan mampu meningkatkan perekonomian hingga 50%.
Tak ayal sektor pertambangan menjadi magnet yang menarik masuk para investor asing. Sejak rezim Soeharto berkuasa dan membuka pintu investasi selebar-lebarnya, saat itu pula perusahaan-perusahaan asing menancapkan kekuasaanya di tanah Papua.
PT. Freeport adalah salah satu perusahan asing yang telah lama mengeruk hasil alam Papua. Tertangga l7 April 1967 Freeport memulai eksploitasi kekayaan alam Papua. Terutama tembaga, emas, dan perak di Kabupaten Mimika, Papua. Hingga kini pemerintah kita dan Freeport sendiri tengah bersitegang terkait perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUPK).
Apapun keputusan yang diambil pemerintah, diharapkan memberikan perubahan yang menguntungkan bangsa ini—terkhusus masyarakat Papua, dan masalah tersebut tak berlarut-larut. Sebab, permasalahan di Papua begitu kompleks—termasuk permasalahan dengan pemerintah sendiri. Permasalahan tersebut meliputi pendidikan, ekonomi, hingga sosial.
Pemerintah Indonesia seakana-akan acuh terhadap nasib Papua. Provinsi Papua yang bisa dibilang sebagai sebuah investasi masa depan yang kurang diperhatikan. Ibarat intan yang dibiarkan begitu saja. Pemerintah seperti terpaku pada satu hal: kekayaan Papua saja. Dan seakan melupakan masyarakat Papua sendiri.
Terbukti, menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) 2010-2015 yang dikutip dari Beritasatu.com, Papua Barat memiliki nilai 61,73, sedangkan Papua memiliki nilai 57,25. Sementara nilai rata-rata HDI di Indonesia adalah 69,55. Angka-angka tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun. Artinya, pemerintah selama ini masih kurang serius dalam usahanya meningkatkan mutu daerah di Papua.
Permasalahn pendidikan begitu melekat pada provinsi ini. Dilansir Berisatu.com menurut data dari United Nations Children's Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.
Dampaknya masyarakat Papua akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehingga banyak masyarakat Papua hidup dalam garis kemiskinan. Padahal mereka adalah tuan dari tanah-tanah yang subur. Raja dari sumber daya alam yang melimpah. Tetapi ketimpangan yang terjadi begitu nyata. Satu dekade lebih masyarakat Papua berada jauh dari kata “makmur”. Dibiarkan dan hanya dimanfatkan saja.
Kekayaan tambang terus digali. Tetapi masyarakat Papua tak lebih dari seorang pribumi yang hanya bisa melihat hasil alamnya dijarah orang asing. Sedangkan pemerintah kita bisa berbuat apa? Apakah Papua hanya dijadikan alat penghasil keuntungan? Justru masyarakat Papua sendiri taraf kehidupannya sangat rendah.
Menurut data sensus BPS, pada tahun 2010, 10 Provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi menempatkan Papua Barat (36,80%) diurutan pertama, disusul Papua (34,88%), Maluku (27,74%), Sulawesi Barat (23,19%), NTT (23,03%), NTB (21,55%), Aceh (20,98%), Bangka Belitung (18,94%), Gorontalo (18,70), dan Sumatera Selatan (18,30%).
Miris. Masyarakat Papua semakin tertinggal. Ketertinggalan itu bukan berarti membuat para pejuang yang menagatasnamakan pemuda Papua bungkam. Sering kita melihat mereka melakukan aksi—menuntut keadilan, kesetaraan, yang selama ini kita kumandangkan saat upacara Senin. Hanya itu yang mereka pinta.
Namun, seringkali apa yang ingin mereka aspirasikan tertahan ditangan pihak yang memegang kuasa. Katanya negara demokrasi, tapi rakyat menyuarakan kegelisahan ditangkap dan dipenjarakan. Dalihnya karena mengganggu keamanan. Lalu keamanan yang macam apa? Sedangkan di timur sana masyarakat Papua dibiarkan menderita.
Melihat keadaan Papua yang sekarang, sudah pantas rasanya mereka menuntut keadilan yang sesungguhnya. Sebab, Papua merupakan bagian dari NKRI. Para pejuang, dahulu, juga banyak yang berasal dari Papua. Berjuang bersama mengusir penjajah. Sekarang mereka kembali dijajah negaranya sendiri. Jangan sampai Papua menjadi Timor Leste yang kedua. Melepas Papua sama saja dengan melepas keberagaman. Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H