Mohon tunggu...
Rainy Yusuf
Rainy Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hobby

Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warsih

15 Juni 2021   07:15 Diperbarui: 15 Juni 2021   07:42 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang bisa ditebak dari ekspresi Warsih. Matanya tajam tetapi kosong. Sudut bibirnya terangkat sedikit seolah tersenyum. Tapi ada yang mengerikan di senyum itu. Karena keseluruhan raut Warsih adalah diam yang pekat.

Di rumah penampungan ini, Warsih tak pernah berbicara. Namun siapa pun dapat menduga pikirannya mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Tapi bukan tempat yang pernah dikunjungi anak seusia Warsih biarpun hanya di dalam mimpi.

Tiga tahun lalu ibunya pergi meninggalkan Warsih bersama adik lelakinya. Warsih membenci perempuan itu. Jika ingin pergi dia bisa membawa Warsih dan adiknya.

Sejak ibunya pergi setiap malam adalah saat-saat mencekam bagi Warsih.

Saat itu usianya baru sembilan tahun. Bapak yang kerap pulang malam setelah berjudi dan minum-minum di warung remang-remang pinggir desa memintanya memijat kepala. Sejak saat itu Warsih menjadi boneka Bapak. Setiap Bapak pulang selalu Warsih diminta memijat kepala dan berakhir dengan Warsih terbangun di sisi Bapaknya tanpa pakaian melekat di tubuhnya.

Sekali waktu adiknya terbangun dan melihat perbuatan Bapak. Esok paginya Bapak mengajak adiknya mencari penyu di rawa dekat ladang tempat mereka tinggal.

Ketika sorenya Bapak pulang, adiknya tak ikut bersamanya. Kata Bapak, adik diajak ibu.

Warsih kian benci pada perempuan itu. Mengapa hanya adiknya yang diajak?

Kian hari Bapak kian sering meminta pijat kepala.

Saat menginjak usia sebelas tahun, Warsih mulai memasuki usia wanita remaja. Kata kawan-kawannya di sekolah, ada juga mereka yang begitu. Warsih hanya mendengarkan celoteh mereka. Dia tak banyak bicara. Pun tak tahu mengadu kemana. Sebab sudah lima kali dia mendapat tamu bulanan di usia sebelas tahun itu.

Warsih merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Beberapa bulan lalu dia selalu mendapat tamu bulanan. Tapi sudah dua bulan terakhir tamunya absen. Memasuki bulan ketiga, seorang gurunya menegur Warsih yang bergerak lamban. Warsih memang merasa tubuhnya kian berisi.
Ketika sudah lima bulan dia tak mendapat tamu bulanan, salah seorang gurunya memanggil Warsih ke ruang kepala sekolah. Di ruangan berpendingin dan  indah di sekolahnya itu sudah ada seorang perempuan tetangga Warsih. Juga ada Bapak Kepala Dusun dan istrinya.

Warsih ditanya berbagai hal. Juga perihal perutnya yang kian membesar.

Warsih bercerita tanpa beban. Sudah lama dia menanti orang-orang yang akan diajaknya berbicara.

Tapi semua yang di ruangan itu menjadi murka dan mencaci-maki Bapak.

Dan sekarang di sinilah Warsih. Di penampungan perempuan dan anak di kota. Kata orang-orang, Bapak sudah dihukum. Warsih tak paham mengapa Bapak dihukum. Warsih juga tak tahu mengapa mereka , orang-orang itu peduli sekarang.

Dalam diam Warsih bertanya-tanya, mengapa orang-orang itu tak peduli ketika ibunya pergi? Ketika adiknya pergi? Ketika dia ditingggal hanya berdua saja dengan Bapaknya di tengah ladang di ujung perkampungan?

Di mana mereka, orang-orang itu ketika dia berusia tujuh tahun dan mengalami malam-malam horor di dalam gubuk itu?

***

Saat Warsih berusia sembilan tahun, pada suatu malam yang panas di musim kemarau ia terbangun. Ada suara berdebuk keras dari ruang tengah yang gelap. Suara Bapak yang meracau dan Ibu menahan isak tangis membangunkannya hampir saban malam. Tapi malam itu hanya racauan Bapak yang tak jelas dan suara berdebuk keras yang terdengar. Bapak kerap meracau jika pulang malam-malam dari warung remang-remang di ujung kampung.

Keesokan paginya Warsih tak melihat Ibu lagi. Ada sebuah kursi yang terbalik di tengah rumah kecil itu. Dan noda kering di sudutnya berbau amis. Adiknya bertanya keberadaan ibu mereka. Warsih hanya diam. Sepulang sekolah Bapak mengatakan Ibu pergi.

***
Suatu pagi, seorang pemikat burung berlari-lari dari dekat rawa di hutan tengah ladang. Dengan wajah pucat dan terbata ia mengatakan jika melihat kepala dari tengah rawa-rawa itu.

Berbondong-bondong orang-orang datang untuk melihat apa yang terjadi.

Garis polisi dipasang dan beberapa orang menyelam untuk mengambil kerangka yang muncul saat kemarau panjang.

Di sana, di tengah rawa ada dua jasad yang telah menjadi kerangka.

Satu kerangka lebih kecil ditemukan tak jauh dari kerangka yang dilihat pemikat burung itu.

***

Warsih tak pernah tahu tentang kedua kerangka yang ditemukan tak jauh dari gubuk dia pernah tinggal.

Pikirannya yang kian tumpul masih tak henti memikirkan mengapa Ibu hanya membawa adiknya.

Warsih kian tak habis pikir melihat orang-orang yang sekarang berbicara tentang haknya.

Ke mana orang-orang itu ketika Warsih menjeritkan lara hatinya setiap detik dulu.

Ketika di usia sembilan tahun dia harus kehilangan segala-galanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun