Obi menjelepok di balik lindungan pokok-pokok singkong. Kakinya sulit diajak melangkah lagi. Pandangan matanya berkunang-kunang. Biar begitu, matanya yang cekung nyalang mengawasi Pak Dudung yang tengah bersiap-siap membersihkan cangkul di sumur di tengah ladang itu.
Perutnya berkeriut mengejutkan dirinya sendiri. Sejak kemarin sore tak ada sebutir nasi atau sedikit makanan yang masuk ke perutnya. Bapaknya yang penjudi, malam tadi pulang sempoyongan. Ibunya yang terlambat membuka pintu jadi sasaran amukan lelaki itu. Amukannya kian menjadi-jadi kala tak mendapati apapun di meja makan. Maka membadailah segala sumpah-serapah di gubuk kecil itu. Hingga pagi, Obi tak dapat memejamkan mata kembali. Perutnya yang keroncongan kalah perih oleh kebenciannya pada lelaki yang dipanggilnya Bapak.
Saat mentari belum menampakan wujudnya, Obi telah menyelinap ke belakang rumah. Terseok-seok ia menuju ladang singkong yang tak jauh dari rumahnya itu. Belum lagi memasuki kebun, kaki Obi tersandung akar pohon. Kepalanya membentur bendul akar yang menonjol di permukaan tanah. Lalu semua menjadi gelap.
Panas mentari yang menyapu wajahnya menyadarkan Obi. Matahari sudah tinggi. Dari tengah ladang terdengar suara cangkul beradu dengan tanah kering. Pak Dudung sedang menyiangi ladang singkongnya.
Hingga matahari meraja di ubun-ubun barulah lelaki tua itu beranjak menuju sumur tua di tengah ladang. Setelah membersihkan tubuhnya, lelaki itu duduk di dangau kecil membuka bekalnya.
Dari musolla tengah kampung kerosak speaker mengalunkan suara orang membaca ayat-ayat suci. Hanya Pak Muin yang jadi imam sekaligus makmum di musolla itu saban pagi. Sementara anak-anak sebaya Obi hanya datang saat maghrib. Anak-anak itu riuh bermain air sambil berwudhu juga riuh saat salat.
Para lelaki sebaya bapaknya dan Pak Dudung biasanya berkumpul di warung pinggir kampung setelah bekerja di ladang. Mereka bermain judi sampai impas lalu pulang sempoyongan karena mabuk.
Pak Dudung tengah berjongkok di dekat perapian di bawah dangau. Aroma ikan bakar menguar dari sana. Keriut di perut Obi kian menggila.
Beringsut dari tempatnya, Obi mencari tempat untuk menjauh dari sana. Ibunya sering memperingatkan agar jangan mendekati ladang singkong Pak Dudung.Â
Lelaki bengis dengan kumis melintang itu tak segan-segan memukul orang yang dianggap mau mengganggu ladang singkongnya.
Malangnya saat akan beranjak bangkit, Obi terjatuh menimpa pohon-pohon singkong itu.
Pak Dudung yang tengah makan sontak bangkit sambil meraih cangkulnya. Saat Obi masih berusaha bangkit, lelaki tua itu sudah berdiri di depannya.
"Kamu mau mencuri, ya?" tuduh Pak Dudung.
Obi hanya sanggup menggeleng.
"Dasar anak b*jing*an. Kamu sama seperti bapakmu," ujarnya lagi kali ini sambil menendang tubuh ringkih Obi.
Anak itu terjatuh mencium tanah. Lalu...
Crak!
Cangkul itu menghantam kepala Obi. Darah panas mengucur dari kepalanya yang terluka. Dan dia tak bergerak lagi. Sejenak Pak Dudung melihat sekitar. Tak ada siapapun di sana.
Pak Dudung meraih tubuh yang sudah tak bergerak itu dan membawanya ke tengah ladang. Jasad kecil itu dilemparkan ke dalam sumur tua tempat dia mencuci cangkul tadi lalu menimbunnya dengan daun-daun kering dan sampah yang ada disitu.
Setelah itu Pak Dudung kembali melanjutkan makannya yang tertunda.
Menjelang sore hujan turun sederas-derasnya. Sisa-sisa darah Obi di tanah kering larut bersama air hujan. Sumur itu meluap hingga hampir penuh. Namun hanya sampah yang mengambang.
Pak Dudung pulang sambil menenteng cangkulnya.
Dari belakang rumah, ibu Obi berseru-seru memanggil anaknya. Sejak pagi Obi tak nampak batang hidungnya. Wanita itu cemas. Ada sesuatu yang mengganggu di benaknya. Tapi dia tak tahu apa.
***
Malam sebelumnya di salah satu warung di ujung kampung, Badra mengusap peluh di dahinya. Tangannya bergetar dan pandangan matanya nanar menatap angka-angka pada kartu. Isi dompetnya sudah terkuras habis. Sisa ampas kopi di gelasnya meninggalkan jejak pahit sepahit kenyataan yang dihadapinya.
Dengan penuh amarah Badra membanting kartu ditangannya. Matanya nyalang menatap lelaki tua yang jadi lawan mainnya malam itu.
"Kau curang!" makinya. Jarinya bergetar menahan emosi.
Pak Dudung hanya mengangkat sisi bibirnya. Lelaki itu meraup uang-uang kertas lusuh yang berserakan di meja di hadapannya. Dia beranjak meninggalkan tempat itu saat Badra tertawa getir dan pahit.
"Kau tidak mau kalau kutawarkan istriku lagi sebagai taruhan, kan. Ha...ha...," tawa Badra membahana.
Pak Dudung menghentikan langkahnya dan menatap tajam Badra.
Badra masih tertawa sambil mengacung-acungkan jarinya menunjuk Pak Dudung. Rahang lelaki tua itu mengeras menahan amarah.
Sementara sayup-sayup ayam jantan berkokok di kejauhan.
***
Suatu malam yang panas tujuh tahun lalu Badra menginjak sisa puntung rokok terakhir di beranda rumah gubuknya. Suara engsel pintu berkeriut ketika seorang lelaki separuh baya keluar dari dalam bilik.
Badra tak menoleh saat lelaki itu berdiri di depan pintu sambil mengancingkan celananya.
Saat lelaki itu berlalu di kegelapan malam, masih terdengar isak tangis seorang wanita dari dalam bilik.
Sejak saat itulah Wanti mengandung. Pernikahannya dengan Badra yang telah berlangsung lima tahun tak membuahkan anak. Meskipun Badra membenci sejak bayi itu hadir di rahim istrinya, dia tetap membiarkan bayi itu lahir. Mereka memberinya nama Obi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H